Parulian Naarga Pane…
Dulu nama itu begitu manis terdengar. Seribu kali lebih merdu daripada suara Andrea Bocelli. Dulu aku selalu tersenyum setiap menyebut namanya, ketika sedang berkhayal sendiri, ketika sedang menggodanya, ketika ingin memanggilnya dengan nama lengkapnya.
Sekarang, air mataku pasti berlinang setiap mendengar atau mengingat nama itu. Nama itu kini menjadi pembangkit duka, pemanggil derita, pengingat nasib buruk. Karena itu, kuputuskan untuk menghapus namanya dari daftar di telepon genggamku.
Tapi aku hafal nomor teleponnya di luar kepala. Sehafal namanya, tanggal lahirnya, hobinya, mimpi-mimpinya. Otakku juga merekam detil wajahnya yang beralis tebal dan berlesung pipi, biarpun semua fotonya telah kubakar. Bagaimana menghapus semua ingatan itu dari kepalaku?
Sekarang semua hal bisa membuatku menangis. Mendengar erangan anak kucing yang ditinggal induknya, melihat gerimis dari balik jendela, tanpa sengaja mendengar lagu sedih di radio, semuanya membuatku mengeluarkan air mata. Apalagi kalau kulihat kebaya kuning gading dan songket yang sudah kusiapkan untuk pernikahanku, aku bisa tersedu-sedu sampai berjam-jam, membuat adikku akhirnya memutuskan untuk menyingkirkan kedua benda itu dari kamarku.
Beberapa hari lagi dia akan menerima pemberkatan nikah.
Di hari-hari itu, aku semakin sering memecahkan gelas dan piring. Tanpa sengaja sebenarnya. Benda-benda itu seakan terlepas begitu saja dari genggamanku. Ibuku cemas, adikku sangat khawatir. Akhirnya aku dilarang membantu mereka di dapur. Menyapu rumahpun aku belum boleh. Kata mereka aku masih belum sehat benar. Jadi sepulang dari susah payah berkonsentrasi di kantor, aku hanya boleh langsung mandi, makan dan istirahat.
Sebenarnya aku tidak butuh istirahat. Aku hanya butuh dia, Parulian Naarga Pane, untuk menemaniku seperti dulu, menghapus air mataku dan mengatakan kalau dia akan menikahiku. Aku ingin dia membawaku sebagai istrinya, menempati rumah yang pagarnya bercat kuning. Menemaniku memupuk pohon mangga.
Topic
#fiksifemina