Petang di hari Sabtu nampak cantik sekali. Membuatku enggan diganggu oleh dering telepon genggam. Kubiarkan saja sampai dering itu berhenti, tapi setelah berhenti, sesaat kemudian dering itu mengganggu lagi.
Siapa? Mataku memandang nomor tanpa nama yang muncul di layar telepon. Bukan Tigor, karena aku sudah menyimpan nomor teleponnya.
“Aku Mario, Kak…”
Otakku bekerja cepat, berusaha mengingat siapa Mario, di antara semua orang yang kukenal. Cuma ada satu, tapi dia bukan kawanku. Untuk apa dia meneleponku?
“Sudah lama kita tidak bertemu. Aku ingin tahu kabarmu.”
Begitu? Tentu saja kita lama tidak bertemu. Bahkan selama-lamanya tidak akan bertemu lagi. Sebab tidak ada lagi alasan untuk itu.
Dia mencoba mengajakku bicara sampai lima menitan. Aku menjawab pendek-pendek. Akhirnya dia putus asa, lalu menyudahi teleponnya. Aku lega.
Sialnya. Besok siangnya, dia kembali meneleponku.
Aku bahkan belum sempat mengganti baju yang kupakai ke gereja. Ibuku sudah pulang ke kampung halaman. Jadi sekarang aku tinggal berdua lagi dengan adikku.
“Aku sedang sendirian di rumah, sepi sekali. Bolehkah kita bertemu?”
Aku terheran-heran mendengarnya.
“Mau menemaniku nonton film?”
Aneh sekali, ajakan itu ke luar dari mulutnya. Aku tak percaya. Tapi tak ada salahnya pergi bersamanya. Anggap saja sedang pergi dengan teman.
Kami bertemu di depan bioskop. Ada film komedi yang sedang diputar. Film itu memang luar biasa lucu. Aku tertawa sampai perutku terasa pegal, dan ke luar dari dalam gedung dengan perasaan puas.
“Mau makan dulu?” tanyanya. Aku menggeleng. Sekarang jam setengah delapan malam. Aku mau pulang saja.
Dia mengantarku pulang. Di depan rumah, kulihat sebuah motor diparkir. Di teras kudapati adikku sedang berbincang dengan seseorang. Aku salah tingkah.
“Hai, Tigor. Sudah lama? Kenalkan, ini Mario. Mario, ini Tigor.”
Mereka bersalaman. Saling tersenyum, saling mengobrol. Entah cuma saling basa-basi, tapi percakapan mereka bertahan sampai satu jam lebih.
Selama itu, sebentar-sebentar perutku terasa mulas.
.****.
Topic
#fiksifemina