Biasanya aku senang kalau dia memijatku seperti itu. Tapi sekali ini, aku merasa sangat marah kepadanya. Dengan kasar, kutepiskan tangannya dari kepalaku. Bersamaan dengan itu, aku tak mampu menahan sedu sedanku.
Aku menangis dengan keras. Kutelungkupkan wajah ke bantal, supaya orang tidak mendengar jeritanku. Jeritan seorang perempuan yang dihancurkan hatinya oleh orang yang sangat dicintainya. Oleh lelaki yang sampai beberapa waktu lalu, masih dianggap sebagai calon suaminya.
“Rian, maafkanlah aku,” kudengar dia berkata.
Aku tak bisa menjawabnya. Aku ingin memakinya, menghujaninya dengan semua kata-kata kejam, tapi tak sepatah suarapun ke luar dari mulutku. Hanya air mataku yang meleleh sangat deras, sampai mataku menjadi sulit untuk dibuka.
“Aku memilih membiarkanmu jatuh dan menyelamatkan orang tuaku. Sebab seperti yang kau katakan, jurang itu tidak dalam. Kau memang akan kesakitan, tapi kau tidak akan mati,” katanya lagi.
Tangis bisuku berganti dengan sedu sedan. Namun aku tetap tak punya kata untuk diucapkan, meski mulutku sudah mampu untuk bersuara. Rupanya kesedihan hatiku terlalu berat untuk disampaikan lewat kata-kata.
Dia bicara entah apa lagi. Entah apa lagi, aku sungguh-sungguh tidak ingat. Yang aku ingat aku terus saja menangis. Menangis sampai jam dua pagi, ketika dia pamit pulang. Dan terus menangis, sampai dari mesjid di dekat jalan, aku mendengar suara adzan subuh.
Setelah itu, aku demam tinggi…
.*****.
Topic
#fiksifemina