Sore itu aku duduk di teras kecil rumah kami, menunggu adikku selesai membuat pisang goreng. Mamak sedang mandi.
Sebuah mobil terlihat berhenti di depan pagar rumah kami. Darahku bergolak. Tubuhku melemas. Aku kenal mobil itu. Belum sempat memulihkan tenaga, kulihat bekas calon suamiku dan orang tuanya, sudah berdiri di depan gerbang. Bahkan sesaat kemudian, kusadari mereka sudah berdiri di depanku.
Mataku beradu pandang dengan mata bekas calon suamiku.
Air mataku langsung mengalir.
Tiba-tiba Ibunya menangis sambil memelukku. Apa yang ditangisinya? Penderitaankukah? Bukankah dia yang menyebabkannya? Aku merasa dipeluk oleh Yudas. Dia memelukku, tapi dia mengkhianatiku.
Mamak yang baru selesai mandi, terperanjat ketika melihat mereka. Buru-buru dipersilahkannya mereka masuk dan mengambilkan tisu untuk mengeringkan air mataku.
“Eda, maafkanlah kami.” Ibu bekas calon suamiku berkata kepada Mamak, sambil menangis.
Mamak sudah tahu semuanya. Dia juga terluka hati dan kecewa. Setelah rencana pernikahan kami ditunda, dia sibuk membatalkan pesanan gedung, memberitahu pendeta dan serikat marga, bahwa pernikahan kami diundur. Dan sekarang, dia kembali harus memberitahu kepada semua famili dan kenalan, bahwa ternyata aku tak jadi menikah. Betapa malunya dia.
Tapi apa jawaban Mamak, yang sudah mengecap pahit dan manis kehidupan ini?
“Sudahlah, Eda. Rupanya mereka memang tidak berjodoh. Apa yang mau dikatakan lagi. Sekarang kita doakan saja, supaya siapapun jodoh mereka, mereka bisa bahagia.”
Mamak tak marah-marah. Padahal kuharapkan dia berempati denganku. Mewakiliku memaki mereka, menghina mereka, membuat mereka merasa bersalah seumur hidup. Sungguh tidak ada makian, tidak ada kemarahan. Yang ada hanyalah memaafkan. Mamak memilih memaafkan mereka. Aku memilih tak berbicara sepanjang pertemuan itu. Aku marah pada Mamak, aku merasa dia juga turut mengkhianatiku.
Malam itu, aku demam lagi. Padahal sebelumnya, aku sudah mulai sembuh.
.****.
Topic
#fiksifemina