Komunikasi Yang Etis
Kendati revisi UU ITE ditujukan untuk melindungi masyarakat dalam menggunakan internet, beberapa pihak menyayangkan poin-poin perbaikannya, karena dianggap masih memiliki kelemahan. “Isinya masih tetap mencantumkan sejumlah pasal yang bermasalah, terutama pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik,” papar Damar Juniarto.
Menurut Damar, pasal tersebut banyak disalahgunakan. Alih-alih dipakai untuk menjerat pelaku kejahatan siber, pasal ini sering dipelintir untuk kepentingan orang yang berkuasa (misalnya aparatur negara, politisi, pengusaha) untuk memenjarakan orang. “Sebab, sekitar 90 persen kasus UU ITE masuk dalam kategori defamasi atau pencemaran nama, dan sekitar 36,7 persen pelapor adalah aparatur negara. Kalau dilihat pola pemidanaannya, tujuannya lebih untuk balas dendam, barter kasus, membungkam kritik atau shock therapy,” tambah Damar.
Revisi ini pun dipandang masih rentan melucuti kebebasan berpendapat dan berekspresi seseorang, yang merupakan bagian dari hak asasi setiap warga. Lantaran maraknya penggunaan pasal pidana ini, masyarakat menjadi takut atau sangat khawatir dalam menyampaikan kebenaran, kritik sosial ataupun menyampaikan pendapat di internet. Salah-salah kata, mereka akan mendekam di balik jeruji.
Dr. Firman pun mengingatkan kita, bahwa penghinaan dan ujaran kebencian sifatnya subyektif dan multitafsir. Dan sayangnya, implikasi multitafsir ini dapat digunakan oleh pihak yang dikritik untuk melaporkan penyampai informasi itu. “Dalam pandangan teori komunikasi, hal semacam ini bisa ditegakkan dengan pendekatan etika komunikasi,” tambahnya.
Maka, menurutnya, diperlukan komunikasi yang etis antar masyarakat di media sosial. Seperti apa komunikasi yang etis itu? “Berkomunikasi tanpa dengan sengaja melakukan disinformasi. Itu yang paling mendasar,” jelas Dr. Firman.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa masyarakat membutuhkan pedoman untuk memahami yang baik dan buruk dengan sanksi etis. “Sehingga ketika mereka tahu etika dalam berkomunikasi, masyarakat akan sama-sama belajar menuju literasi (komunikasi yang baik dan benar-red) dan fluency (komunikasi yang berguna-red) teknologi informasi yang baik, bukan karena takut ancaman hukuman,” tambahnya.
Baik buruknya media sosial, memang sangat ditentukan oleh para penggunanya. Maka penting bagi kita sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi demokrasi untuk bisa memanfaatkan media sosial dengan lebih positif. Lebih tepatnya, penting untuk menjadi netizen yang bijak dalam bermedia sosial.
Topic
#UUITE