Trending Topic
Cukupkah UU ITE Menjadi Solusi Penyebaran Hoax dan Hate Speech?

12 Jan 2017


 
Euforia Demokrasi Online
Di era serba digital, demokrasi telah berpindah ruang. Dari yang dulu hanya di ranah publik, kini sudah merambah ke ranah online. Masyarakat pun menyuarakan pendapat mereka sebebas-bebasnya di dunia maya.

Seperti halnya berdemokrasi, komunikasi yang memanfaatkan microelectronic berbasis teknologi informasi (TI) ini menimbulkan debat pro dan kontra. Bahkan tak jarang, ketika mengedepankan kebebasan berpendapat, justru banyak yang tersandung pada masalah pencemaran nama baik, penodaan agama, ancaman, hingga ujaran kebencian. Di sisi lain, sayangnya, justru banyak yang memanfaatkan pedoman kebebasan berpendapat dengan menyebarkan berita hoax.

Beberapa bulan belakangan, penyebaran berita hoax di dunia maya kian tak terkendali. Menurut Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, kini ada hampir 800 ribu situs yang tercatat sudah menyebarkan berita bohong. Sementara data komunitas Masyarakat Indonesia Anti Hoax, setiap hari bisa menemukan 30 informasi bohong di media sosial, yang kebanyakan berupa isu politik, kesehatan dan keuangan.
 
Menyambut pilkada 2017, disinyalir menjadi salah satu penyebab semakin maraknya perang berita bohong di media sosial. Dari berita hoax tentang jutaan pekerja Cina yang membanjiri Indonesia, uang rupiah baru yang terdapat simbol komunis palu arit hingga vaksin kanker serviks untuk anak SD yang menyebabkan menopause dini.
 
Dipandang dari ilmu komunikasi dan psikologi, penyebaran hoax adalah reaksi terhadap kecemasan. Seperti penuturan pemerhati budaya digital dan dosen komunikasi UI, DR. IR. Firman Kurniawan S., M.SI., “Ketika seseorang merasa cemas, ia tidak mau menanggungnya sendiri. Maka diserbarkan informasi itu dengan tujuan berbagi untuk menyelamatkan kehidupan orang lain,” jelasnya. Persoalannya, kita banyak yang kurang teliti dalam memeriksa kebenaran beritanya. Bahayanya, hal ini bisa berdampak buruk bagi banyak orang.

Menurut Damar Juniarto, Koordinator Regional SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network), berita bohong terbagi dalam tiga kategori : (a) Menghibur, dengan konten seperti parodi untuk lucu-lucuan, (b) Click bait. Ini digunakan untuk kepentingan bisnis, dengan mengubah judul atau headline yang provokatif, dengan harapan akan banyak orang mengunjungi laman atau ‘like’ unggahan tersebut, dan (c) strategi politik. “Kategori ini bisa memicu konflik. Karena pihak yang nakal memanfaatkan berita bohong untuk agenda politik tertentu, yang kini sudah masuk hingga tahap degredasi sosial,” jelas Damar.

Tenggelamnya masyarakat dalam euforia demokrasi, teknologi informasi dan globalisasi juga berdampak pada bagaimana kita memraktikkan kebebasan berpendapat di dunia maya. Kita jadi lebih berani untuk mengkritik sesuatu yang kita anggap salah, dan menyampaikan opini yang kita anggap benar. Kita juga jadi merasa bebas untuk sekadar curhat sebagai bentuk ekspresi diri. Tapi kadang, hal tersebut justru tak berkenan bagi mereka yang ‘mungkin’ merasa tersinggung dengan apa yang kita unggah. Dengan dalih pencemaran nama baik, ujaran kebencian, penodaan agama, ataupun pengancaman.

Buni Yani adalah contoh nama yang paling akrab di telinga kita. Ia menjadi tersangka karena kasus penyebaran informasi dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta non-aktif, Basuki Tjahaja Purnama, yang dapat menimbulkan kebencian SARA di akun Facebook-nya. Punggahan Buni ini berbuntut panjang, karena menyebabkan kemarahan masyarakat dan gonjang-ganjing politik dalam bentuk demo besar di bulan November dan Desember lalu.
 
Sementara di Makassar, Yusniar harus dipenjara 30 hari dan sedang melewati masa sidang setelah dilaporkan oleh anggota DPRD Jeneponto, Sudirman Sijaya karena keluhan rumahnya dirusak oleh ‘anggota dewan’ di Facebook. Padahal, pada statusnya tersebut, Yusniar tak menyebutkan nama anggota dewan yang dimaksudnya.

Tapi tak hanya di Indonesia, dunia internasional juga mengalami darurat berita hoax, hate speech, atau opini yang berujung pada pencemaran nama baik. Pada musim kampanye pilpres Amerika Serikat lalu, penyebaran fake news yang mengkhawatirkan dianggap sebagai kunci kemenangan Donald Trump. Salah satunya berita hoax tentang Barack Obama dan Hillary Clinton sebagai pendiri ISIS yang disebarkan oleh situs Breitbart yang sangat terkenal di kalangan pendukung Trump.
 


Topic

#UUITE

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?