Mataku jadi berkantung hitam. Wajahku suram dan tubuhku mengurus. Begitu banyak yang sudah kukorbankan untuk mencegah berlalunya hari, tapi perlawananku itu tak cukup kuat.
Dan hari itu memang akhirnya tiba. Kubayangkan dia berdiri menghadap pendeta di depan altar. Memegang tangan perempuan lain, memasukkan cincin di jari perempuan lain, berjanji setia sampai mati dengan perempuan lain.
Hari itu, aku ingin mati saja…
Aku bermimpi melihat istrinya mati. Aku berdiri di tepi peti matinya, melihat dia berkebaya pengantin, terbaring dihias bunga-bunga lily dan mawar. Aku melihat dia menangisi istrinya, sementara aku berdiri di sampingnya sambil tertawa-tawa. Aku merasa senang, karena dia akan kembali menjadi milikku.
Waktu terbangun, aku merasa sangat berdosa. Aku berdoa minta ampun. Aku memang sangat mencintai dia dan sangat menderita karena ditinggal olehnya. Tapi sedikitpun tak terbersit di pikiranku, untuk mengharapkan kematian istrinya. Sungguh, jauhlah itu dariku, mengharapkan kebahagiaanku di atas kematian istrinya.
Mimpi itu memang tak berulang. Tapi selama berminggu-minggu, mimpiku selalu menyertakan dia. Aku berada di dasar jurang, sementara dia tertawa-tawa memandangiku dari tebing; aku hanya terbengong-bengong melihat dia menjerit-jerit terbawa arus sungai yang deras, dan entah apa lagi. Banyak sekali mimpiku. Aku kelelahan, aku merasa nyaris gila. Aku meratap dalam doaku, memohon agar aku diberi kemampuan untuk melupakan dia. Untuk melanjutkan hidupku dengan gembira.
Akhirnya perlahan-lahan mimpiku berubah. Aku mulai bisa tersenyum, sudah bisa bercanda-canda dengan Mamak dan adikku, sudah bisa memasak lauk kesukaan Mamak.
Terasa berat memang. Delapan bulan sudah berlalu, ketika genap sebulan penuh, aku tak lagi bermimpi tentang dia.
.****.
Topic
#fiksifemina