Pada era digital yang serba terkoneksi, teknologi justru dapat memperparah masalah klasik remaja, seperti anxiety, depresi, perundungan, bahkan masalah-masalah baru yang belum pernah terbayangkan oleh generasi sebelumnya.
Sebuah penelitian oleh Pew Research Center pada September-Oktober tahun 2024 mengungkap, sekitar 75% remaja (berusia 13-17 tahun) di Amerika Serikat bergumul dengan masalah mental health, cyberbullying, hingga penyalahgunaan alkohol dan narkoba. Hal yang tak jauh berbeda dialami juga oleh remaja di Indonesia.
Dampak gadget pada perkembangan jiwa anak
Interaksi digital telah mengubah cara remaja berkomunikasi dan membangun hubungan. Akibatnya, banyak yang kehilangan kemampuan dasar seperti membaca bahasa tubuh (gestur) lawan bicara, tata krama, hingga cara berkomunikasi langsung dengan orang lain.Fakta paling mengkhawatirkan, rata-rata remaja menghabiskan 9 jam sehari dengan gadget! Kebiasaan ini memengaruhi cara mereka belajar, tidur, beraktivitas, pertemanan, bahkan menjalin hubungan dengan orang tuanya.
Jika Sahabat Femina punya anak atau adik usia remaja, pendekatan dalam membantu mereka berbeda dari masa remaja Gen X maupun Milenial. Berikut masalah sosial utama remaja masa kini dan cara membantu mereka:
1/ Depresi dan kecemasan
Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) pada tahun 2022 mengungkap hasil survei kesehatan mental nasional angka kejadian gangguan mental pada remaja 10-17 tahun di Indonesia. Data tersebut menunjukkan bahwa 1 dari 3 remaja Indonesia memiliki masalah kesehatan mental, sementara 1 dari 20 remaja Indonesia memiliki gangguan mental selama 12 bulan terakhir.Beberapa gangguan terbanyak di antaranya gangguan cemas (gabungan antara fobia sosial dan gangguan cemas menyeluruh) sebesar 3,7%, diikuti oleh gangguan depresi mayor (1%), gangguan perilaku (0,9%), serta gangguan stres pasca-trauma (PTSD) dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD) masing-masing sebesar 0,5%.
Gangguan kesehatan mental remaja terutama disebabkan mereka menghabiskan terlalu banyak waktu di perangkat elektronik sehingga menghalangi remaja dari kegiatan langsung bersama teman sebaya, seperti berolahraga, yang dapat membantu mencegah depresi. Selain itu, mereka mengalami kondisi baru seperti "fear of missing out" atau FOMO, yang selanjutnya menyebabkan perasaan kesepian dan isolasi sosial.
Gangguan depresi sebenarnya dapat diobati jika gejalanya disadari sejak awal, seperti menarik diri, mengalami perubahan pola tidur, atau mulai berprestasi buruk di sekolah. Orang tua bisa meminta jadwal janji temu dengan psikolog remaja atau menghubungi profesional kesehatan mental.
2/ Perundungan
Cyberbullying menjadi bentuk perundungan yang umum terjadi saat ini. Bisa jadi, ini karena lebih sulit bagi otoritas seperti guru maupun orang tua untuk dapat campur tangan dan mengawasi pertemuan virtual di dunia mereka. Selain itu, dunia media sosial telah membuka peluang peluang perundungan yang tidak terbatas pada jam sekolah saja. Para perundung dapat menyiksa korban mereka sepanjang waktu.Bicarakan dengan remaja tentang perundungan saat mereka memiliki waktu bersama orang tua. Beritahukan apa yang dapat mereka lakukan saat menyaksikan perundungan dan bicarakan opsi jika mereka menjadi target perundungan. Bersikap proaktif adalah kunci membantu anak menghadapi perundungan.
Penting juga bagi orang tua untuk bekerja sama dengan sekolah, klub, dan tempat kerja untuk memastikan mereka memiliki kebijakan anti-bullying yang diterapkan.
3/ Aktivitas seksual dini
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017 (dilakukan per 5 tahun) mengungkapkan, sekitar 2% remaja perempuan usia 15-24 tahun dan 8% remaja laki-laki di usia yang sama mengaku telah melakukan hubungan seksual sebelum menikah, dan 11% di antaranya mengalami kehamilan yang tidak diinginkan.4/ Penyalahgunaan narkoba dan alkohol
Bicarakan kepada remaja tentang risiko minum alkohol di bawah umur. Edukasi mereka tentang bahaya, termasuk fakta bahwa alkohol dapat berdampak serius pada otak remaja yang sedang berkembang.Ketika membahas penggunaan narkoba, jangan lupa menyebutkan bahaya obat resep juga, karena banyak remaja tidak menyadari bahaya mengambil resep teman, menelan beberapa pil yang tidak diresepkan untuk mereka, atau bahkan menjadi kecanduan pada resep mereka sendiri.
5/ Citra tubuh dan obesitas
Survei Kesehatan Indonesia tahun 2023 menunjukkan prevalensi kegemukan dan obesitas hingga obesitas sekitar 19,7% pada anak usia 5-12 tahun dan 16% pada anak usia 13-15 tahun. Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil Riset Kesehatan Dasar 2018 yang berturut-turut menunjukkan sekitar 19,8% dan 16,2% kegemukan pada kelompok usia yang sama.Selain fakta bahwa anak-anak yang kelebihan berat badan sering jadi sasaran penindasan, anak-anak yang obesitas memiliki risiko lebih besar terhadap masalah kesehatan seumur hidup, seperti diabetes, arthritis, kanker, hingga penyakit jantung.
Bicaralah dengan dokter anak tentang masalah berat badan dan BMI sesuai usia remaja. Tanyakan juga langkah-langkah yang dapat diambil untuk memastikan anak sehat. Kemudian, jika dokter merekomendasikan rencana pola makan yang lebih sehat atau olahraga, cari cara untuk mendukung anak menjalankannya.
6/ Masalah akademis
Sekarang bukan hanya "remaja bermasalah" yang putus sekolah. Beberapa remaja merasakan tekanan begitu besar untuk masuk ke perguruan tinggi sehingga kelelahan sebelum lulus dari SMA. Untuk itu, orang tua perlu terus mendorong dan terlibat dalam pendidikan remaja. Berikan dukungan dan bimbingan serta siap membantu anak saat menghadapi masalah.Ingat, sulit bagi remaja untuk memikul tekanan seorang diri. Namun jika orang tua terus mendukung, serta menghilangkan stigma buruk terkait ujian, dan memberi tahu anak bahwa orang tua mencintainya, bukan tidak mungkin anak dapat sedikit melepaskan beban, terlepas apa pun hasil akademis yang diterima.
7/ Tekanan teman sebaya dan sosial
Tekanan teman sebaya meningkat dan diperbesar oleh media sosial. Selain sexting, semakin banyak anak-anak yang ditekan untuk berhubungan seks, menggunakan narkoba, dan bahkan mengintimidasi anak-anak lain.Demi mencegah anak-anak menjadi korban tekanan teman sebaya, bekali mereka keterampilan dalam membuat pilihan yang tepat, dan berani menolak tekanan teman sebaya. Bicarakan juga kepada anak, apa yang harus dilakukan jika mereka melakukan kesalahan, dan bersikap kesatria.
Pastikan anak-anak tidak takut untuk datang kepada orang tua ketika mereka melakukan kesalahan. Tunjukkan bahwa orang tua juga bisa mendengarkan tanpa menghakimi atau bereaksi berlebihan. Dan justru sebaliknya, membantu anak menemukan cara yang sehat bagi mereka memperbaiki kesalahan dan melanjutkan hidup.
Mengingat semua risiko dan kerugian potensial dengan adanya media sosial, hal terbaik yang orang tua lakukan adalah mendidik anak-anak dan menerapkan batasan penggunaan gadget. Bantu anak belajar bagaimana menggunakan media sosial dengan cara yang sehat. Bicarakan tentang cara aman saat beraktivitas daring dan tetaplah mengetahui apa yang dilakukan anak di sana.
Upgrade diri dan ketahui berbagai aplikasi sosial terbaru, situs web, dan halaman media yang digunakan anak. Pastikan untuk menerapkan langkah-langkah pengamanan untuk melindungi remaja secara daring.
Baca juga:
Ternyata Ini Alasan Terjadinya ADHD Dewasa
Saat Sibuk Kerja, Jangan Lupakan Pertemanan Kita!
Ketika Teman Curhat, Ini Cara Simpel Tapi Ampuh Jadi Pendengar yang Baik
Laili Damayanti
Topic
#IsuSosialRemaja, #PendampinganOrangTua, #TipsDampingiRemaja