
Foto: Shutterstock
Ketangguhan Rafael Nadal Parera (32) dalam membuat para lawannya bertekuk lutut di atas lapangan tenis tanah liat membuat orang menjulukinya King of Clay. Masuk 50 besar dunia di usia 16 tahun, sebelum usia 25 tahun ia telah memenangkan 10 kali Grand Slam, dan dua kali merebut peringkat pertama dunia.
Kini, berada di peringkat 1 dunia tidak membuat Nadal terhindar dari “demam panggung” dan rasa takut akan kegagalan. Bagaimana ia mempertahankan mental juara? Menjawab ini, Rafael Nadal harus kembali ke “pertarungan terbesarnya” satu dekade yang lalu. Sebuah momen pembelajaran yang mengasah mental juaranya.
Gema bunyi pukulan raket dan pantulan bola menguasai lapangan tengah Wimbledon yang pada 18 Agustus 2008 itu hening oleh pertarungan sengit dua petenis muda dunia, Rafael Nadal (saat itu berusia 22) dan Roger Federer (saat itu berusia 27 tahun), pemegang peringkat pertama dunia.
Kelincahan Nadal dalam menguasai lapangan dan pukulan-pukulan bolanya yang kuat serta tajam mampu menundukkan perlawanan Federer. Di usia 22 tahun, putra sulung dari Sebastian Nadal dan Ana Maria Parera ini menjadi petenis nomor satu dunia!
“Final melawan Roger Federer merupakan pertandingan terbesar dalam hidup saya,” ungkap pria yang akrab disapa Rafa ini. Ia pernah dua kali kalah di dua tahun sebelumnya. Kedua-duanya terjadi saat ia berhadapan dengan Federer. Namun, kegagalannya di 2007, di mana ia kalah hingga lima set, benar-benar membuat pria kelahiran 3 Juni 1986 ini terpuruk.
“Usai pertandingan, saya mengurung diri di kamar ganti dan menangis sesenggukan di situ selama setengah jam,” aku Rafa tanpa malu dalam nukilan ekslusif autobigrafinya "Rafa". Dalam tangisan penuh kekecewaan itu, ia menyalahkan dirinya sendiri.
Kini, berada di peringkat 1 dunia tidak membuat Nadal terhindar dari “demam panggung” dan rasa takut akan kegagalan. Bagaimana ia mempertahankan mental juara? Menjawab ini, Rafael Nadal harus kembali ke “pertarungan terbesarnya” satu dekade yang lalu. Sebuah momen pembelajaran yang mengasah mental juaranya.
Gema bunyi pukulan raket dan pantulan bola menguasai lapangan tengah Wimbledon yang pada 18 Agustus 2008 itu hening oleh pertarungan sengit dua petenis muda dunia, Rafael Nadal (saat itu berusia 22) dan Roger Federer (saat itu berusia 27 tahun), pemegang peringkat pertama dunia.
Kelincahan Nadal dalam menguasai lapangan dan pukulan-pukulan bolanya yang kuat serta tajam mampu menundukkan perlawanan Federer. Di usia 22 tahun, putra sulung dari Sebastian Nadal dan Ana Maria Parera ini menjadi petenis nomor satu dunia!
“Final melawan Roger Federer merupakan pertandingan terbesar dalam hidup saya,” ungkap pria yang akrab disapa Rafa ini. Ia pernah dua kali kalah di dua tahun sebelumnya. Kedua-duanya terjadi saat ia berhadapan dengan Federer. Namun, kegagalannya di 2007, di mana ia kalah hingga lima set, benar-benar membuat pria kelahiran 3 Juni 1986 ini terpuruk.
“Usai pertandingan, saya mengurung diri di kamar ganti dan menangis sesenggukan di situ selama setengah jam,” aku Rafa tanpa malu dalam nukilan ekslusif autobigrafinya "Rafa". Dalam tangisan penuh kekecewaan itu, ia menyalahkan dirinya sendiri.
“Saya harus bertarung untuk menenangkan suara-suara dalam benak saya. Untuk mengunci kepala saya dari pengaruh luar dan mengkonsentrasikan setiap atom dalam tubuh saya untuk bertanding. Tetapi, saya membuat kesalahan,” ungkap Rafa.

Foto: Shutterstock
Di tahun berikutnya, semalam sebelum pertemuannya dengan Federer, Rafa berusaha mengontrol pikirannya dengan jalan memulai pertandingan virtual di dalam kepalanya. Tetapi, sama seperti malam lain menjelang pertandingan Wimbledon, Rafa punya terapi unik untuk membuat pikirannya tenang, sekaligus fokus, yaitu dengan memasak!
“Malam itu, saya menjamu seisi rumah dengan hidangan pasta dan udang olahan saya,” katanya, senang.
Keesokannya, satu jam sebelum pertandingan, ketika Rafa tiba di arena Wimbledon, Federer telah terlihat duduk di bangku panjang kayu, di ruang locker. Meski dalam beberapa waktu lagi mereka akan ‘saling menghancurkan’ di atas lapangan, tapi di ruang ini mereka adalah teman. Kalau tidak sedang bertanding, biasanya mereka akan membahas permainan sepak bola. Tetapi, kali ini mereka hanya saling berjabat tangan, mengangguk, bertukar senyum tipis, dan berjalan menuju loker masing-masing yang hanya berjarak 10 langkah satu sama lain.
“Gap bakat antara saya dan Federer nyata ada, tapi itu bukan jurang yang mustahil diseberangi. Ketika saya berhasil membungkam keraguan dan rasa takut, lalu melambungkan harapan, dan berkata di dalam benak saya bahwa saya lebih baik daripada dia, saya bisa mengalahkannya,” yakin Rafa.
Keyakinan dan kepercayaan dirinya terbukti. Dalam pertadingan 5 set sepanjang 4 jam 48 menit yang disebut sebagai salah satu pertandingan final Wimbledon terbaik itu, Rafa berhasil merebut gelar petenis nomor satu dunia dari tangan Federer. “Kemenangan ini telah membebaskan saya dari ‘penjara mental’,” ungkapnya usai pertandingan.
Memiliki mental juara, inilah yang berusaha dipertahankan oleh pria yang mengidolakan pegolf dunia Tiger Woods. “Saya banyak belajar dari mentalitas Tiger saat bertanding. Hanya dengan melihat ekspresi wajah dan sorot matanya, saya tahu ia punya fokus dan kepercayaan yang sangat kuat, bahwa ia akan berhasil memukul bola itu masuk ke lubang,” kagum pria kelahiran Manacor, Mallorca, Spanyol ini. (f)
Baca Juga:
Cara Petenis Dunia Nomor 1 Rafael Nadal Menikmati Kegagalan
10 Fakta Kevin Sanjaya Sukamuljo/Marcus Fernaldi Gideon, Baik di Lapangan Bulu Tangkis Maupun Kehidupan Pribadi
Jonatan Christie, Pebulu Tangkis Muda Peraih Medali Emas SEA GAMES 2017 yang Dipuja Wanita
Topic
#rafaelnadal, #mentaljuara, #tenis, #atlet