Celebrity
Pertarungan Terbesar Rafael Nadal

19 Oct 2012



Ketangguhan Rafael Nadal Parera (26) dalam membuat para lawannya bertekuk lutut di atas lapangan tenis tanah liat membuat orang menjulukinya King of Clay. Masuk 50 besar dunia di usia 16 tahun, sebelum usia 25 tahun ia telah memenangkan 10 kali Grand Slam, dan dua kali merebut peringkat pertama dunia. Namun, di balik kesuksesannya itu ada air mata, rasa takut, dan banyak kegagalan. Bagaimana ia mempertahankan mental juara?

PERTARUNGAN TERBESAR
Gema bunyi pukulan raket dan pantulan bola menguasai lapangan tengah Wimbledon pada 18 Agustus 2008 itu. Penonton yang memadati arena terhipnotis oleh pertarungan sengit dua petenis dunia, Rafael Nadal dan Roger Federer (30), pemegang peringkat pertama dunia kala itu.
Kelincahan Nadal dalam menguasai lapangan dan pukulan-pukulan bolanya yang kuat serta tajam mampu menundukkan perlawanan Federer. Di usia 22 tahun, putra sulung dari Sebastian Nadal dan Ana Maria Parera ini menjadi petenis nomor satu dunia!
“Final melawan Roger Federer merupakan pertandingan terbesar dalam hidup saya,” ungkap pria yang akrab disapa Rafa ini. Ia pernah dua kali kalah di dua tahun sebelumnya. Keduanya terjadi saat ia berhadapan dengan Federer. Namun, kegagalannya pada tahun 2007 --ia kalah hingga lima set-- benar-benar membuat pria kelahiran 3 Juni 1986 ini terpuruk.
“Usai pertandingan, saya mengurung diri di kamar ganti dan menangis sesenggukan selama setengah jam,” aku Rafa, tanpa malu. Dalam tangisan penuh kekecewaan itu, ia menyalahkan dirinya sendiri. “Saya harus bertarung untuk menenangkan suara-suara dalam benak saya. Untuk mengunci kepala saya dari pengaruh luar dan mengonsentrasikan setiap atom dalam tubuh saya untuk bertanding. Tetapi, saya membuat kesalahan. Ah, lupakan saja…,” tepisnya, tersenyum kecut.
Di tahun berikutnya, semalam sebelum pertemuannya dengan Federer, Rafa berusaha mengontrol pikirannya dengan jalan memulai pertandingan virtual di dalam kepalanya. Tetapi, sama seperti malam lain menjelang pertandingan Wimbledon, Rafa punya terapi unik untuk membuat pikirannya tenang, sekaligus fokus, yaitu dengan memasak! “Malam itu, saya menjamu seisi rumah dengan hidangan pasta dan udang olahan saya,” katanya, senang.
Keesokannya, satu jam sebelum pertandingan, ketika Rafa tiba di arena Wimbledon, Federer sudah duduk di bangku panjang kayu, di ruang locker. Meski dalam beberapa waktu lagi mereka akan saling menghancurkan di atas lapangan,  di ruang ini mereka adalah teman. Kalau tidak sedang bertanding, biasanya mereka akan membahas permainan sepak bola. Tetapi, kali ini mereka hanya saling berjabat tangan, mengangguk, bertukar senyum tipis, dan berjalan menuju locker masing-masing yang hanya berjarak 10 langkah satu sama lain.
Gap bakat antara saya dan Federer nyata ada, tapi itu bukan jurang yang mustahil diseberangi. Ketika saya berhasil membungkam keraguan dan rasa takut, lalu melambungkan harapan, dan berkata di dalam benak saya bahwa saya lebih baik daripada dia, saya bisa mengalahkannya,” kata Rafa, yakin.
 Keyakinan dan kepercayaan dirinya terbukti. Dalam pertandingan 5 set sepanjang 4 jam 48 menit yang disebut sebagai salah satu pertandingan final Wimbledon terbaik sepanjang sejarah itu, Rafa berhasil merebut gelar petenis nomor satu dunia dari tangan Federer. “Kemenangan ini telah membebaskan saya dari ‘penjara mental’,” ungkapnya, usai pertandingan.
Memiliki mental juara, inilah yang berusaha dipertahankan oleh pria yang mengidolakan pegolf dunia Tiger Woods ini. “Saya banyak belajar dari mentalitas Tiger saat bertanding. Hanya dengan melihat ekspresi wajah dan sorot matanya, saya tahu ia punya fokus dan kepercayaan yang sangat kuat, bahwa ia akan berhasil memukul bola itu masuk ke lubang,” kata Rafa, kagum.(Naomi Jayalaksana)