Foto: Dok. Femina
Kondisi pasar yang memandang jamu masih dianggap sebagai ‘obat’, yang hanya dikonsumsi saat sakit, membuat Jony Yuwono terpanggil untuk memberikan cara pandang baru. Bahwa, beberapa jamu seperti beras kencur dan kunyit asam bisa menjadi minuman harian yang menjadi bagian dari gaya hidup, selain kopi dan teh. Ide bisnis yang sudah dijajaki sejak 2014 ini kemudian direalisasikan pada tahun 2018, dengan tujuan ingin memperkenalkan kembali Jamu sebagai warisan yang berharga dari leluhur bangsa Indonesia dengan brand Wilwatikta.
”Target market Wilwatikta adalah masyarakat yang peduli terhadap kesehatan dan mengapresiasi integritas bahan baku yang dikonsumsinya,” ujar Jony.
Wilwatikta mengemas jamu secara kontemporer, dengan menempatkan kualitas bahan baku menjadi titik utama dari produk. “Sebagai contoh, produk beras kencur kami murni terdiri dari beras dan kencur, tanpa gula, pemanis buatan, bahan kimia, maupun pengawet,” kata Jony.
Beras yang digunakan pun ada 3 jenis, yaitu beras putih dari Lampung yang tersertifikasi organik oleh Komunitas Organik Indonesia (KOI), beras merah dari Jatiluwih, Bali; daerah dengan sistem Subak yang mendapatkan pengakuan UNESCO World Cultural Heritage dan beras hitam dari Adan Krayan, Kaimantan Utara yang tersertifikasi organik oleh WWF. Beras itu kemudian digabungkan dengan kencur dari Wonogiri, Jawa Tengah. “Semua bahan kami proses dengan higienis menggunakan berbagai teknologi mutahir untuk menghasilkan kualitas cita rasa yang optimal,” imbuh Jony.
Meski tidak menyebut angka, Jony mengatakan bahwa sebagian besar modal usaha digunakan untuk eksplorasi bahan baku, riset terhadap proses pengolahan dan pengemasan jamu yang dijual dengan harga berkisar antara Rp100.000 - Rp200.000 untuk 1 dus yang berisi 6 sachet.
Foto: dok. Femina
8 Sudut, 8 Filosofi
Berniat untuk mengingatkan kembali tentang sejarah jamu yang sudah berakar selama lebih dari 10 abad atau 1.000 tahun, nama Wilwatikta dipilih. “Ini adalah nama lain dari Kerajaan Majapahit yang memiliki lambang kerajaan berbentuk matahari bersudut 8. Berdasarkan literatur sejarah, pada awalnya jamu gendong menawarkan 8 jenis jamu, mengikuti 8 sudut dalam simbol Wilwatikta,” Jony menjelaskan.
Setiap dari 8 jenis jamu tersebut memiliki makna filosofi tersendiri dan mencerminkan fase dalam siklus hidup manusia, yaitu; dimulai dengan kunyit asam yang mencerminkan fase awal hidup manusia 0-8 tahun, yang masih terasa manis dan asam. Selanjutnya beras kencur (9-16 tahun), menggambarkan fase hidup ini yang manis dan sedikit pedas (semangat). Lalu disusul cabe puyang (17-24 tahun), semangat remaja yang diwakili dengan rasa pedas yang dominan.
Kemudian, pahitan (25-32 tahun), terbuat dari sambiloto dan temulawak yang merupakan jamu paling pahit, mewakili fase hidup di mana seorang remaja menjadi dewasa dan mulai mengenal tanggung jawab dan pahitnya realitas hidup. Jamu kunci suruh (32-40 tahun), merupakan simbol fase kedewasaan ketika seorang beradaptasi dan mendapatkan manis di balik kepahitan. Yang keenam adalah kudu laos (40-48 tahun), jamu yang hangat ini mengajarkan manusia untuk hidup sinergis dengan alam lingkungan dan manusia lain.
Disusul oleh jamu gepyokan (48-56 tahun) adalah jamu yang menggabungkan temu-temuan (rimpang) di jamu sebelumnya (kunyit +kencur +lempuyang +temulawak +temu kunci +lengkuas) ibarat mengumpulkan semua pengalaman yang ada dan mulai berkarya atau menurunkannya ke generasi selanjutnya. Terakhir adalah sinom (57 tahun dan seterusnya) jamu dengan bahan kunyit dan asam plus daun asam. Memiliki makna untuk balik lagi ke manis atau ke awal, tetapi berbeda.
Jony paham benar bahwa edukasi tentang jamu tidaklah mudah. Karena itu, untuk memberikan pengalaman yang unik kepada konsumen masa kini, Wilwatikta perlu memanjakan panca indra. Visual lewat desain yang mencakup tradisi dan budaya melalui kekayaan jamu. Olfactory (indra penciuman), dengan menggunakan sistem pour over yang dipakai untuk menyeduh Wilwatikta akan menghasilkan aroma rempah yang hangat. Audio (indra pendengaran), lewat suara tetesan jamu yang terekstraksi menyerupai gemericik aliran sungai kecil yang menenangkan. Taste (indra perasa) dengan menggunakan filter untuk menghasilkan jamu yang bersih tanpa ampas, ringan di mulut dan sisa rasa yang segar, dan indra peraba, bahwa jamu diseduh panas untuk menyalurkan kehangatan jamu secara optimal dan ampas yang tersisa dapat dimanfaatkan untuk perawatan kulit seperti masker, lulur maupun bekam.
Semua itu disatukan dalam strategi marketing yang unik. Salah satunya adalah dengan mendirikan Acaraki Jamu Cafe. “Di Acaraki, pelanggan akan diperkenalkan dengan Jamu yang diseduh menggunakan bahan-bahan ber-integritas tinggi dari Wilwatikta sekaligus mengedukasi konsumen cara untuk mengapresiasinya,” ujar Jony, sambil mengakui bahwa dana cukup besar harus dikeluarkan untuk kafe jamu tersebut.
Lalu, apakah tantangan terbesar dalam mengembangkan Wilwatikta? “Sudut pandang masyarakat terhadap Jamu masih terbatas pada ruang lingkup yang sempit, seperti Jamu itu terkesan minuman kuno, tidak ‘kekinian’, obat yang tidak teruji secara klinis, dsb. Tetapi yang harus kita ketahui dan ingat, jamu sudah ada sejak zaman nenek moyang kita, pemahaman jamu yang berkhasiat sudah ada sebelum obat-obatan kimia yang teruji secara klinis beredar di pasaran,” kata Jony sambil mengatakan bahwa artefak keberadaan Acaraki atau nama lain dari profesi peracik jamu sudah ada di relief dinding Candi Borobudur. (f)
Baca Juga:
Edward Tirtanata, Sukses Menjual 1 Juta Kopi Kenangan Setiap Bulan
WiseWomen Entrepreneur Bali: Catat Transaksi Keuangan Anda & Bercerita Yang Efektif Di Media Sosial
Tip Merekrut dan Membuat Karyawan Betah
Topic
#jamu, #bisnis, #bisnisjamu, #wirausaha, #profilwirausaha, #bisniskuliner, #kuliner, #jamumoderen