Café Gladiola, 12.30 WIB
BTARI menatap sekaleng ikan salmon di atas meja dengan tatapan tawar. Warna pink daging salmon yang terdapat pada gambar di kaleng berbentuk kotak berwarna biru cerah itu tak sedikit pun membuat senyumnya mengembang. Padahal, empat bulan yang lalu, dengan merengek ia meminta dibawakan oleh-oleh ikan salmon liar dari tempat hewan-hewan itu hidup berlimpah ruah. Tapi, sekarang ia seperti tak berselera.
“Kamu tidak suka oleh-oleh yang kubawakan Btari?” tanya Bara. Suara baritonnya memecah keheningan. Btari mengangkat wajah. Kegetiran di wajah Btari makin bertambah, saat matanya tertumbu di wajah Bara. “Saat ini di sana sedang musim panas, waktunya salmon-salmon itu pulang dari lautan menuju ke hulu untuk melepas telur-telurnya. Andai bisa kubawakan salmon segar untukmu, pasti rasanya berbeda dengan yang di kaleng itu!” tunjuk Bara ke arah sekaleng salmon di atas meja dengan matanya.
“Ini sudah lebih dari cukup.” Akhirnya suara lembut Btari terdengar juga. Ditariknya kaleng salmon itu lebih dekat ke arah tubuhnya. “Maaf telah merepotkanmu.”
“Aku justru ingin direpotkan olehmu tiap waktu,” balas Bara cepat. “Andai itu masih bisa.” Di akhir kalimat suara Bara berubah getir.
Btari dapat membaca arti kalimat itu. Dengan cepat dipalingkannya wajahnya. Menatap ke luar jendela. Pada jajaran tanaman heliconia yang tumbuh rimbun memagari halaman kafe yang terlihat sepi siang ini. Ia benar-benar merasa bersalah.
“Kupesankan strawberry milkshake kesukaanmu!” tunjuk Bara pada gelas yang mulai berembun di atas meja. “Selera kamu masih sama, ‘kan?”
Btari hanya melirik.
“Kamu terlihat lebih kurus Btari, dan… sedikit pucat.”
Btari tak menjawab. Pandangannya makin nanar menatap jauh ke jalanan yang ramai.
“Btari,” panggil Bara.
Btari kembali menoleh. Tatapan keduanya kembali bertemu di satu titik.
“Apa kamu bahagia?” tanya Bara hati-hati sekali.
Btari menelan ludah. Tak siap. Pertanyaan yang paling ditakutkan itu akhirnya meluncur juga bagai aliran gletser membekukan hatinya. Pertanyaan yang membuat dirinya berdiri di titik penentuan. Antara berkata jujur tentang apa yang dirasakannya atau menyembunyikan semuanya dalam kebohongan kata.
“Jujurlah!” pinta Bara memohon. Membaca keresahan Btari. Wajah Btari langsung tertunduk dalam. “Aku hanya ingin tahu.” Kali ini nada Bara setengah memaksa.
Sekian detik berlalu dalam keheningan yang tak beranjak. Tak ada jawaban. Apalagi penjelasan. Hanya helaan napas panjang Btari terdengar berat menjelaskan semuanya. Bara mengerti arti helaan itu. Ia benar-benar merasa terpukul. Diberanikannya mengusap jemari Btari perlahan. Mata Btari malah terpejam.
“Andai saja waktu bisa diulang,” desahnya geram.
“Sudahlah!” akhirnya terdengar lagi suara lembut Btari memotong keresahan yang mengambang. Mata Btari yang sekian detik terpejam perlahan terbuka kembali. Ditatapnya Bara dalam-dalam, tepat ke manik mata kelam Bara yang mulai membadai. “Tidak ada gunanya menyalahkan keadaan!”
“Bukankah untuk itu kita di sini, Btari? Membicarakan kemungkinan yang masih tersisa?”
Kepala Btari menggeleng lemah. “Kita sudah membahas semuanya di telepon tadi malam. Tiga jam! Apa itu masih belum cukup?” Vibrasi suara Btari kali ini terdengar jelas. Ada kabut tipis menggenang di matanya. Tangis yang tertahan.
Topic
#FiksiFemina