
Foto: 123RF
Minim Minat
Seperti biasa, Accenture, perusahaan konsultan teknologi internasional, kembali melakukan survei global tahunannya menyambut International Women’s Day 2017. Diadakannya survei tahun ini yang bertajuk Leading in The New berangkat dari asumsi adanya kesenjangan pendapatan antara pria dan wanita di dunia kerja. Topik penelitian ini mengedepankan faktor apa saja yang mendorong wanita mendapatkan kesempatan lebih baik dalam berkarier dan sukses, serta pengaruh teknologi digital dan pay gap (jurang pendapatan antara pria dan wanita).
Yang menarik, dari survei terhadap 900 responden (250 wanita bekerja, 250 pria bekerja, 400 sarjana) di 29 negara (11 negara maju dan 18 negara berkembang), termasuk Indonesia, menunjukkan bahwa digital capability wanita bisa dibilang lebih rendah daripada pria. Salah satunya terlihat dari ketertarikan di dunia kerja, 24% pria tertarik bekerja di dunia digital, IT, dan teknologi, sementara wanita hanya 18% saja yang tertarik bidang ini.
Gambaran tentang dominasi pria di dunia teknologi, terutama teknologi informatika, tampak di negara maju seperti Amerika Serikat. Silicon Valley yang menjadi pusat perkembangan perusahaan berbasis digital bahkan disebut-sebut sebagai sebuah boy’s club, karena hanya segelintir wanita yang dapat bertahan dan mencapai posisi puncak. Hal tersebut seakan menguatkan dominasi pria dalam bidang teknologi. Tapi, benarkah teknologi hanya untuk pria?
Sebuah penelitian yang dilakukan American Association of University Women (AAUW) tahun 2010 tentang Why So Few? Women in STEM, menyebutkan, ada delapan hal yang membuat hanya sedikit wanita berkecimpung di bidang STEM. Salah satunya adalah faktor kepercayaan diri wanita yang kurang ketika berhadapan dengan ilmu pasti, misalnya matematika.
Menurut para peneliti, rasa tidak percaya diri tersebut muncul karena adanya stereotip, bias gender, dan kondisi di lingkungan STEM. Hal ini yang dipercaya membuat sedikit wanita yang tertarik mengambil jurusan kuliah di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Meski banyak orang tidak percaya dengan stereotip ‘wanita tidak mahir matematika’, nyatanya stereotip tersebut berada di bawah alam sadar, bahkan dalam diri wanita sendiri.
Serangan stereotip yang tidak disadari ini justru memberikan tekanan bagi wanita ketika ia harus memecahkan soal matematika misalnya, sehingga dapat memengaruhi hasil akhirnya. Tidak heran jika kemudian banyak wanita yang merasa gagal dengan matematika.
Minimnya keikutsertaan wanita di bidang IPTEK sebenarnya terlihat sejak berada di bangku sekolah. Umumnya, anak perempuan akan memilih program studi yang berhubungan dengan sosial dan seni, sedangkan ilmu alam didominasi anak laki-laki. Begitu pula ketika melanjutkan kuliah, jumlah mahasiswi yang memilih jurusan IPTEK jauh di bawah jumlah mahasiswanya.
Menurut data Kementerian Riset Teknologi - Perguruan Tinggi (Kemenristek-Dikti) pada semester 1 tahun 2016, dari 3.070.664 orang mahasiswi, 256.610 orang mengambil jurusan MIPA (sekitar 8,4%) dan 285.841 orang mengambil jurusan teknik (sekitar 9,3%), sedangkan sisanya, sebanyak 2.774.157 orang, mengambil jurusan lain di luar teknik dan MIPA.
Kabar gembiranya, menurut Dr. Ir. Paristiyanti Nuwardani, MP, Direktur Pembelajaran Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, tren anak perempuan yang mengambil jurusan sains, teknologi, teknik, dan matematika selalu meningkat tiap tahunnya. Dalam dua tahun belakangan ini, banyak kampus yang mengajukan permohonan membuka program studi baru yang berhubungan dengan STEM. Hal ini tentunya akan diikuti dengan peningkatan jumlah mahasiswa dan mahasiswi yang belajar sains dan teknologi.
Sejak akhir tahun 2016, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Muhammad Nasir, telah mengeluarkan moratorium, tidak memberikan izin untuk penambahan program baru di kampus-kampus, selain program yang berhubungan dengan STEM, misalnya matematika. Selain itu, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi juga mendorong peningkatan program studi sains dan teknik, salah satunya dengan menambah politeknik yang sudah ada di beberapa daerah yang terkait dengan proyek pembangunan yang dilakukan pemerintah.
“Sekarang ini kita telah memiliki 265 politeknik dan 43 di antaranya adalah politeknik negeri,” jelas Paristiyanti. Lebih lanjut Paristiyanti menjelaskan bahwa penambahan jumlah jurusan dan politeknik yang terkait dengan sains dan teknologi tentunya diikuti pula oleh penambahan jumlah mahasiswa, termasuk juga meningkatkan angka mahasiswa perempuan yang mengambil jurusan STEM, yang saat ini masih di kisaran 30-40 persen saja.
“Untuk meningkatkan partisipasi wanita di jurusan STEM, kita memiliki program bekerjasama dengan politeknik negeri dan swasta, dengan memberikan beasiswa untuk wanita. Dengan demikian, ada kuota spesial untuk mereka,” ungkap Paristiyanti.

Sementara itu, anak perempuan berusia 12-19 tahun, 39 persennya mengatakan, mereka akan terus memegang persepsi bahwa mata pelajaran STEM itu sulit. Kabar gembiranya, hanya 26 persen anak perempuan Indonesia (dibandingkan dengan 39 persen rata-rata wilayah lainnya) yang menyatakan bahwa mereka cenderung tidak memilih mata pelajaran STEM ketika melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi dibandingkan pria.
Selain itu, tingkat partisipasi anak-anak perempuan di Indonesia (usia 15-19 tahun) di bidang STEM merupakan kedua tertinggi di wilayah Asia Pasifik.
Meski minim minat, bidang STEM memiliki prospek karier cerah untuk semua. Simak ulasannya di laman berikut ini.
Faunda Liswijayanti
Topic
#tipkarier, #IPTEK