Fiction
Novelet : Esperansa (1)

21 Jul 2018



Kota Sambas-Galing-Sasak-Tanjung-Kaliau-Aruk. Aku membuka catatan rute yang kami tempuh. Terguncangguncang dalam angkutan menyusuri jalan yang semula mulus, lalu memasuki jalan aspal mengelupas, melewati ruas jalan dengan pengerasan, dan kendaraan merayap di punggung Bukit Piantus.
Perjalanan ini mengingatkan aku pada jalur panjang antara Atambua-Dili. Sekali lagi, aku disengat pertanyaan, demi apa Mama pergi dari Lorosae, meninggalkan kami, untuk segala yang tidak pasti di tempat seperti ini?

Tetapi, bahkan perjalanan yang kutempuh kali ini juga untuk sesuatu yang tidak pasti. Karena tiada jaminan, apa aku nanti bisa bertemu mereka atau tidak. Dulu, aku pernah bertanya kepada Papa perihal ketidakmengertianku akan keputusan Mama. Bagaimanapun aku ingin memahami, tetap saja bagiku ada sesuatu yang ganjil dalam perpisahan keluarga kami.

“Kadang-kadang kupikir Mama terlalu egoistis, Pa.”

“Tidak, Emili. Mamamu sangat baik. Lagi pula, tiap orang berhak memilih. Dan kau juga tahu, bukan hanya kita yang mengalami perpisahan seperti ini.”

Memang, banyak keluarga yang berpisah karena peristiwa referendum itu. Tetapi, keputusan Mama memisahkan diri rasanya berbeda dari yang lain. Mama sama sekali tidak punya keluarga di Indonesia. Wanita itu lahir di Lorosae.

Sekolah dan besar hingga menikah tanpa pernah sekali pun meninggalkan tanah itu. Oh iya, konon memang ada neneknya Mama di Kupang, tapi sudah lama tiada. Jadi, ketika tiba-tiba Mama memilih pergi, apalagi pada akhirnya kuketahui pergi ke tempat sejauh ini, hal itu seakan membawa utang penjelasan yang entah mengapa ingin aku tagih.

“Suatu hari kau akan mengerti, Emili. Jika Tuhan mengizinkan, kita pasti akan kembali dipertemukan. Percayalah.”

Aku percaya, ingin selalu percaya. Itu sebabnya, aku tak henti berdoa. Tetapi, begitu Mama dan kakak adikku berjalan ke barat, mereka seperti hilang di tempat matahari tenggelam. Rupanya, di pulau inilah tujuan mereka.

Sebelumnya, aku memang cukup lama menekuri peta dan rute perjalanan. Ada beberapa lokasi transmigrasi di provinsi ini. Dan dari informasi yang aku dapat, tempat yang kutuju berada di tengah perkebunan sawit.

Advertisement
“Luar biasa.” Abilio memasukkan kepala ke dalam lubang kausnya, saat kendaraan terguncang-guncang, menerobos gulungan debu yang ditinggalkan truk pengangkut material di depan kami. Untunglah angkutan yang kami tumpangi bisa menyalip, sehingga tidak terus-menerus dihujani debu. Angkutan beberapa kali menaikkan dan menurunkan penumpang. Kami istirahat di Pasar Galing untuk makan siang.

Jalur selanjutnya lebih ekstrem lagi. Selain debu, jalan juga naik turun, hingga perbatasan. Beberapa situs perjalanan mengatakan, jalur yang aku tempuh sekarang adalah jalur pantura yang akan berakhir di PPLB Aruk. Katanya lagi, memang relatif sepi jika dibandingkan dengan perbatasan Entikong - Sanggau.

“Akhirnya!” Perjalanan selama lebih dari 80 km berakhir juga, setelah selama lima jam kami terguncang-guncang dalam angkutan. Kami turun di Sajingan. Aku menghidupkan ponsel. Tidak ada sinyal.

“Langsung?” tanya Abilio.

Aku mengusulkan untuk mencari minum dan… tiba-tiba baru terpikir oleh-oleh apa yang sebaiknya aku bawa. Aku cukup lama di depan toko sebelum memutuskan membeli dua kaleng biskuit rasa durian dan kelapa. Entahlah, bingung.

Abilio sudah mendapatkan dua motor ojek. Sepertinya dia sudah selesai menawar harga. Kami masing-masing naik ke boncengan. Meninggalkan Kecamatan Sajingan. Kami memasuki jalan kecil, kemudian berbelok ke jalan tanah yang membelah perkebunan sawit. Hampir satu jam kemudian, pada akhirnya aku memasuki sebuah perkampungan dengan rumah-rumah menyebar di area miring di tengah lahan gersang.

Aku menyerahkan helm kepada tukang ojek. Nanar kutatap sekitar. Di depanku, sebuah bangunan sepi dengan tulisan kantor KUPT. Aku mengaitkan kedua tangan yang berkeringat.

“Sepertinya itu bangunan sekolah.” Abilio menunjuk bangunan lain, memanjang berbentuk rumah panggung.

Ada bendera merah putih yang berkibar di tengah lapangan.

Lanjutkan  ke : Novelet : Esperansa (2)

Shabrina WS



Topic

#fiksi, #novelet, #cerber

 



polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?