Fiction
Novelet : Esperansa (1)

21 Jul 2018



Seorang wanita dengan rambut yang selalu diikat tinggi. Baju terusan bunga-bunga berlengan pendek. “Mama hanya ingin kebaikan untukmu. Seorang gadis tak hanya pintar di dapur, tapi juga harus mahir melindungi diri.”
 
Saat itu Mama mengajak ke belakang rumah, untuk berlatih bela diri. “Papa atau Mama tidak selamanya ada di samping kamu. Ada saatnya kau harus berjalan sendiri dan bertanggung jawab pada dirimu,” kata Mama, saat aku bertanya kenapa harus susah payah belajar berbagai gerakan. “Mama tidak mengajarimu untuk main pukul, ‘kan?”

Mama marah, saat kedua orang tua teman sekolahku mendatanginya. Aku memukul dahi anaknya hingga mengalir darah yang banyak. “Tapi, dia mau menciumku, Mama!” Aku tidak bohong.

“Baiklah, Mama menerima alasanmu. Ciuman adalah hadiah berharga untuk orang yang benar-benar kau cintai dan mencintaimu kelak. Itu pun setelah ia benar-benar mengikrarkan janji dan sah menjadi suamimu.”

Potongan-potongan kenangan bersama Mama sebagian besar seperti kepingan-kepingan pesan yang mengendap lama dalam pikiranku. Aku tak pernah menduga sebelumnya, itu adalah percakapan berharga yang tak pernah terulang.

Mama pergi. Benar-benar pergi dari kehidupan kami. Aku memang sering kali mendengar Mama dan Papa bertengkar di kamar. Namun, karena suaranya terlalu lirih, aku tak tahu pasti apa penyebab keributan itu.

Papa juga hanya menjawab, tak ada lagi yang bisa menjembatani perbedaan pandang mereka.

“Tidak juga cinta?” pertanyaan itu kulontarkan saat SMA.

“Cinta tidak selalu menjadi segalanya dalam pernikahan.” Jawaban Papa tak berlanjut. Sering kali lelaki itu tampak enggan membahas hal-hal yang berhubungan dengan perpisahan. Dulu aku berpikir, kenapa Papa begitu tega membiarkan Mama pergi bersama Antoni dan Carolin. Mungkin benar gosip samar yang kudengar: Papa punya wanita idaman lain, sehingga Mama yang memilih pergi.

Tetapi, setelah musim-musim berlalu, dia tak pernah mengenalkan aku kepada seseorang yang barangkali akan menggantikan posisi Mama. Lantas, kehidupan Mama, masihkah wanita itu sendirian atau sudah ada orang lain yang menggantikan posisi Papa?

Di foto itu tak ada wajah Mama. Hanya Antoni dan Carolin. “Turun,” Abilio menepuk bahuku. Taksi yang kami tumpangi berhenti di parkir bandara. Ketika melihat pesawat di landasan, aku tak bisa menahan degup jantung yang dua kali lebih kencang. Aku masih ingat, ketika Papa mengajakku mengikuti gelombang rakyat Timtim untuk mendengar pidato Xanana.

“Kita bertemu dalam situasi yang penuh penderitaan.” Begitulah Xanana membuka pidatonya. “Kita masih
mencari saudara-saudara kita yang hilang. Kita akan memanggil saudara-saudara kita yang masih jauh untuk membangun sesuatu yang baru.”

Advertisement
Aku berusia tiga belas tahun saat itu. Namun aku tahu, apa yang dikatakan Xanana untuk memanggil saudara yang masih jauh itu tak akan pernah terjadi pada diriku. Ketika orang-orang di lapangan saling berpelukan dan terisak-isak, aku pun berkali-kali mengusap air mata dengan lengan bajuku. Sementara tangan kananku berkeringat dalam genggaman tangan Papa.

Saat itu, ingin rasanya aku terbang dan menyusul di mana Mama dan saudaraku berada. Bahkan, ketika orang orang membakar semangat dengan meneriakkan, “Viva Timor Leste!” aku hanya terpaku. Aku tidak mengerti apa yang akan terjadi setelah itu. Barangkali selamanya aku akan hidup bersama Papa dan benar-benar tak pernah lagi bertemu Mama.

“Heh!” Abilio menyikut lenganku.

Kenangan itu pecah, dan hilang begitu saja dari lamunan.

“Ya, Tuhan… kau melamun terus.” Abilio membuka permen dan mengangsurkan kepadaku. “Biar tidak
kerasukan.” Aku tertawa tanpa suara, meraih permen di telapak tangan Abilio.

Ketika pesawat mulai lepas landas meninggalkan bumi Lorosae, semangatku seakan ikut meninggi. Sekarang aku hanya tinggal menghitung mundur jarak saja, untuk bertemu dengan orang-orang yang sudah bertahun-tahun pergi dari hidupku. Dulu, aku sering bermimpi perihal Mama, Carolin, dan Antoni. Kadang, mereka seakan berkumpul bersama di tengah ladang, memetik biji-biji kopi.

Tapi, begitu karung-karung terisi, Mama dan kedua saudaraku mendadak lenyap. Aku sendirian di tengah ladang. Lalu pohon-pohon pelindung seakan menjulur, menutup semua langkahku. Aku berteriak-teriak memanggil Mama, Antoni, dan Carolin. Tapi, yang muncul kemudian adalah Papa sambil membawa segelas air putih.

“Kau lupa berdoa.”Biasanya, baru keesokan harinya aku bercerita dengan Papa perihal mimpiku. 

“Mungkin kalian saling merindukan. Tuhan memberikan pertemuan lewat mimpi.”

“Tapi, kenapa mereka selalu menghilang? Apakah itu pertanda buruk?”

“Kamu harus percaya mimpi-mimpi yang baik. Kepercayaanmu akan menjadi harapan.”

Selalu, selalu begitu kalimat Papa, tiap aku cerita perihal mimpi-mimpi yang sama.
 


Topic

#fiksi, #novelet, #cerber

 



polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?