Potongan ingatanku menyimpan keakraban penuh. Bahkan, hingga aku dewasa, tiap kali memasuki pasar,
seakan bisa mencium aroma kebersamaan dengan Mama. Dulu, biasanya, dengan bekal makan dan minum
yang cukup, Mama selalu mengajakku ke tempat kerja. Menyisakan ruang di antara kain-kain untuk tempat aku tidur, jika lelah dan mengantuk. Bahkan, sepulang sekolah aku memilih menyusul Mama ke pasar.
“Begini caranya.” Mama pernah mengajariku bagaimana membuat tali rambut dari kain sisa. Bentuk sederhana yang kukuasai adalah menjahit kain kecil panjang, kemudian dibalik setelah semua terjahit, sehingga bekas jahitannya berada di dalam, lalu dimasukkan karet ke dalamnya. Sederhana. Tidak perlu mesin. Tapi selalu membuat teman-teman memujaku.
Setelah referendum, yang tersisa hanya satu pita kecil yang mengikat rambutku. Itu pun hilang saat pelajaran olahraga. Tali rambut yang kini kupakai kubeli di toko suvernir milik temanku.
Pukul 5 pagi, aku sudah berada di dalam bus, menempuh perjalanan panjang dari Pontianak menuju Sambas. Saat memasuki terminal matahari telah di atas kepala.
“Benar-benar harus menginap lagi di sini,” kata Abilio, setelah bertanya kepada sopir bus. “Memang, ‘kan.” Aku tidak kaget. Informasi yang aku baca masih butuh waktu sekitar 5 jam untuk sampai di Aruk. Tentu saja, kalau memaksakan perjalanan, kami akan kemalaman sampai di perbatasan. Lagi pula, kami
masih harus menempuh perjalanan lagi menuju lokasi transmigrasi itu.
Aku dan Abilio menghabiskan sisa hari dengan jalan-jalan dan mencari makan. Kami ke hotel menjelang malam. Dan pagi harinya, kami melanjutkan perjalanan dengan angkutan umum.
Topic
#fiksi, #novelet, #cerber