Papa memang tidak bekerja di kebun kopi. Dia menjalani peran sebagai pengepul dari petani. Mencari pembeli yang bisa menawar dengan harga bagus. Hasil kerja itulah yang kemudian membawa kehidupan kami membaik. Aku bisa sekolah hingga ke perguruan tinggi.
Tetapi, pertanyaan-pertanyaan perihal mamaku tak pernah berubah. Makin dewasa, aku makin ingin tahu, apa sebab yang membuat Mama begitu keras meninggalkan Papa. Lelaki yang begitu sempurna menjalankan peran sebagai ayah sekaligus sebagai ibu. Sesungguhnya, aku tak pernah mendapati cela dari lelaki itu.
Sebab itulah, dulu waktu kuliah, aku pernah diam-diam pergi ke Atambua, ke tepi Sungai Talau tempat mukim para pengungsi eks Timor Timur. Aku menemui pengurus di sana untuk mencari apakah ada daftar nama keluargaku. Namun, aku tidak menemukannya. Tidak pernah ada nama mereka. Kenyataan itu memberi pukulan menyakitkan.
Jadi, ketika saat ini kesempatan datang, aku tak mau menyia-nyiakan.
“Sebenarnya, kau tidak perlu mengantarku sejauh ini,” kataku kepada Abilio, begitu kami sampai di Pontianak.
Sebelumnya kami berhenti di Bali untuk berganti pesawat. Matahari sudah tenggelam ketika kami sampai di hotel. Seperti beberapa informasi yang aku kumpulkan, perjalanan ini tak bisa ditempuh dalam sehari penuh, bahkan tidak dalam dua hari. Kami harus menginap dan menyambung perjalanan dengan bus menuju Sambas.
“Oh, jadi aku sangat mengganggumu?”
“Bil. Maksudku bukan begitu.”
“Aku tidak mengerti, sepanjang jalan, itu terus yang kau katakan.”
“Aku juga tidak mengerti.”
“Aku pastikan tidak akan ada yang cemburu, ok?”
Aku tertawa. Ya, Abilio baru saja putus dari pacarnya yang cemburuan. Tetapi, bukan itu alasanku. Main film adalah salah satu mimpinya. Setelah dia lolos casting, justru dia pergi bersamaku. Tentu hal wajar kalau aku khawatir ini akan sedikit menghambat persiapannya.
“Ok. Selamat istirahat.”
Kami berjalan menuju kamar masing-masing. Baiklah, aku memang harus mengakui bahwa keberadaan Abilio bersamaku cukup membantu. Aku belum pernah pergi sejauh ini sendirian. Tetapi, ya, tetap saja rasanya begitu berutang ketika ada seseorang mengorbankan waktu dan tenaga hanya untuk kepentingan pribadi kita, ‘kan? Tentu saja itu tak kuucapkan pada Abilio. Karena lelaki itu pasti akan marah, kalau semua kebaikan selalu ingin dibalas kebaikan.
“Memangnya kau akan melakukan kebaikan hanya jika orang lain melakukannya padamu? Dan tidak akan melakukan, jika orang itu tidak melakukan hal yang kau anggap menguntungkan dan baik untukmu?”
Aku tersenyum membayangkan dia mengomel. Sambil mengunci pintu kamar, aku mengakhiri pikiran perihal Abilio. Aku membersihkan diri, kemudian berbaring di ranjang, menatap langit-langit kamar. Sekarang aku berada di tanah ini. Makin dekat jarak antara aku dan keluargaku.
Kuraih guling dan mendekapkan di dada. Ada desir desir halus dari dalam sana. Sesuatu yang terasa sebagai kekhawatiran, ketakutan, sekaligus harapan. Berapa mil jarak antara Sambas dan Dili? Aku menelepon Papa, mengabari bahwa perjalanan lancar. Papa menyuruhku hati-hati. Aku mengakhiri pembicaraan setelah mengucapkan selamat tidur.
Topic
#fiksi, #novelet, #cerber