Emilia
Konon, merah putih yang selalu aku beri hormat tiap upacara hari Senin itu turun dalam sunyi. Bahkan tanpa kehadiran Xanana. Referendum 99 adalah peristiwa yang akan mengendap lama dalam ingatan jangka panjang seseorang yang mengalaminya. Pada akhirnya tertulis dalam sejarah, bahwa sebagai provinsi yang termuda saat itu, Lorosae mandiri untuk membangun tanahnya sendiri.
“Ini bukan tentang bendera yang kita kibarkan, tapi tentang tanah, di mana dari sana Tuhan memberi kita makan. Kehidupan.” Aku mendengar itu dari Papa.
“Tidak. Ini tentang bagaimana caraku menghormati leluhurku, yang menjadi perantara aku ada.” Pendapat berbeda terlontar dari Mama.
Sejak kabar referendum diembuskan, keluarga kami telah melalui malam-malam untuk menentukan pilihan, hingga akhirnya terbelah menjadi dua kubu. Pihak Mama, yang didukung oleh Antoni dan Carolin, sementara aku berada di pihak Papa.
“Ini hanya sementara, ‘kan?” waktu itu aku bertanya penuh harap. Namun, lagi-lagi aku menangkap dua pasang mata milik Papa dan Mama saling bertukar pandang.
Mulanya, aku mengira perpisahan keluarga kami memang karena pilihan yang berbeda saat jajak pendapat itu. Namun, ketika Papa tak pernah mengajakku menengok Mama, aku tahu bahwa semua tak lagi soal di bawah bendera mana keluarga kami berdiri.
“Kami tak bisa bersama-sama sebagai suami-istri lagi, Emili,” begitu kata Papa, ketika aku mengajak pergi ke perbatasan Atambua untuk berjumpa dengan Mama dan saudaraku. “Mamamu minta menyembunyikan ini dari kalian.”
“Tapi, Antoni dan Carolin tetap anak Papa, ‘kan?” aku bertanya tentang hal lain. Pikiran kanak-kanakku tidak menuntut diberi alasan saat itu. “Sebagaimana aku tetap anak Mama? Tidakkah Papa ingin bertemu mereka?”
Aku mengingat dengan samar, saat itu rahang Papa mengeras, sebelum akhirnya kami berjalan ke perbatasan, menuju jembatan air mata di Atambua.
Topic
#fiksi, #novelet, #cerber