True Story
Grace Melia, Pendiri Rumah Ramah Rubella

17 Mar 2016


 
ANUGERAH BARU
Sejak tahu kondisi yang sesungguhnya, Ubii harus mengonsumsi banyak obat dan melakukan fisioterapi untuk mengurangi kekakuan otot-ototnya. Sebagai ibu baru, ini sungguh tantangan luar biasa! Saya terkadang harus menguatkan diri mendengar tangisan Ubii saat fisioterapi dan minum obat. Belum lagi biaya pengobatan yang tidak sedikit.

Kami sempat membeli alat bantu dengar seharga Rp20 juta-an untuk Ubii, yang ternyata tidak berpengaruh. Kami kemudian menggantinya dengan implan alat bantu dengar yang biayanya ratusan juta rupiah. Beruntung, keluarga besar kami cukup kompak, dan dengan sukarela bersedia membantu secara keuangan.
Sebagai seorang ibu, yang paling sering membuat saya khawatir adalah  bagaimana masa depan Ubii nantinya? Bagaimana jika saya meninggal dan Ubii belum mandiri juga. Siapa yang akan merawatnya? Sebab, di usianya yang ke-3 tahun, Ubii masih seperti bayi 8-9 bulan. Semua pikiran itu sering membuat air mata saya mengalir tak terbendung.

Terkadang, kelelahan fisik dan stres memikirkan biaya-biaya yang selangit membuat saya dan Adit mudah bertengkar. Pernah juga sampai rasanya ingin berpisah saja. Namun kami sadar, Ubii membutuhkan ibu dan ayahnya. Akhirnya kami menemui konsultan perkawinan. Beliau bilang, sebagai orang tua anak berkebutuhan khusus, kami harus pandai mengelola stres, lebih daripada orang tua pada umumnya.

Kami disarankan untuk sesekali ’beristirahat’ mengisi ’baterai’. Orang lain mungkin tidak mengerti dan menilai kami egoistis saat melihat  kami pergi berduaan saja, menitipkan anak-anak kepada orang tua sebentar. Kami sadar, dalam kondisi stres, kami tidak bisa merawat Ubii dengan baik.

Saat sibuk dengan berbagai perawatan Ubii itulah saya menyadari bahwa saya tengah hamil  anak kedua. Saat tahu, saya malah merasa stres. Saat USG, saya menangis histeris. Sungguh saya tidak siap. Ubii masih begitu butuh perhatian saya. Apalagi saya belum memeriksa TORCH. Saya sangat takut kalau sampai anak kedua ini mengalami gangguan yang sama dengan Ubii. Berminggu-minggu saya galau, sedih, sampai mengalami vlek-vlek, dan nyaris keguguran.

Saya tersentak, menyesal karena teledor. Saya sempat bedrest di rumah sakit selama tiga hari karena itu. Syukurlah, Tuhan masih mengizinkan saya menjaga kehamilan kedua ini. Adanya janin ini pasti akan membawa hal baik dalam hidup saya, suami, dan Ubii. Saya mulai memikirkan kemungkinan-kemungkinan manis. Barangkali kemampuan Ubii akan cepat maju dengan belajar bersama adiknya. Siapa tahu adiknya kelak bisa jadi guru kecil untuk Ubii.

Hasil screening TORCH saya baik. Tiga dokter menyatakan saya aman untuk hamil. Karena masih trauma, saya butuh mendengar dan memastikannya lebih dari dua dokter. Dan memang benar, dari masa masih dalam kandungan hingga lahir, putra kami, Aiden, terlahir sehat. Saya dan Adit mulai menyusun rencana untuk membagi perhatian dan tenaga kami bagi dua malaikat kami ini.

Kehadiran Aiden menjadi tantangan tersendiri. Sebab, selama tiga tahun tersebut, seluruh daya dan cinta saya seolah telah terkuras untuk Ubii. Begitu banyak yang telah kami lalui bersama. Kini, saya harus belajar bagaimana mencintai Aiden seperti saya mencintai Ubii. Pada kenyataannya, begitu mudah mencintai Aiden. Kami berharap, orang-orang di sekeliling kami juga paham, untuk tidak membeda-bedakan di antara Ubii dan Aiden.