Foto: Freepik
Kerab membaca comment-comment netizen yang menulis dengan sebutan-sebutan yang ditujukan kepada perempuan mulai dari ‘jalang’, ‘pelacur’, ‘lonte’ dan masih banyak lainnya? Ini merupakan salah satu bentuk slut shaming. Contoh lain dari slut shaming yang ada di kehidupan sehari-hari adalah ketika perempuan direndahkan karena mengenakan pakaian yang dinilai tidak sesuai norma.
Dalam kamus Oxford slut shaming dijelaskan sebagai "the action or fact of stigmatizing a woman for engaging in behaviour judged to be promiscuous or sexually provocative. Some of the criticism smacks of slut shaming". Artinya, slut shamming merupakan sebuah label atau stigma yang diberikan kepada seseorang karena ia dianggap berperilaku sensual, tujuannya untuk mempermalukan dan merendahkan orang tersebut.
Sayangnya, fenomena slut shaming sering dilakukan tanpa disadari oleh masyarakat dan terjadi hampir di setiap negara. Seolah julukan tersebut menjadi hal yang wajar untuk dilontarkan kepada target perempuan karena penampilan mereka, cara mereka berpakaian, dan dugaan tingkat aktivitas seksual mereka.
Istilah slut shaming juga bias gender, sebab ketika laki-laki yang aktif secara seksual atau bergonta-ganti pasangan hanya disebut playboy atau buaya, bahkan ada kebanggaan di balik itu.
Slut shaming adalah ujaran negatif dan termasuk dalam bentuk perundungan (bullying) melalui bahasa. Bahkan di masa kini, pelabelan secara seksual ini marak ditujukan pada perempuan tak hanya lisan, namun juga lewat tulisan di media sosial. Ketika terjadi di ranah online, slut shaming termasuk cyberbullying dan masuk kategori Kekerasan Berbasis Gender Online.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh American Association of University Women, slut shaming adalah salah satu bentuk pelecehan seksual yang paling umum yang dihadapi siswa di sekolah menengah dan atas di Amerika.
Slut shaming membuat perempuan merasa direndahkan dan menimbulkan dampak yang serius. Korbannya bisa merasa tidak berharga, malu, merasa terhina dan menimbulkan tekanan hidup. Bahkan, menurut verywellfamily.com, orang yang menjadi korban kekerasan seksual dalam bentuk apa pun mungkin lebih rentan terhadap kecemasan, perilaku berisiko, depresi, dan bunuh diri.
Terlebih lagi, banyak perempuan yang telah dipermalukan dengan sebutan pelacur sering kali memiliki masalah citra tubuh dan depresi, kecemasan, bahkan pikiran untuk bunuh diri.
Perbuatan slut shaming bukanlah sebuah sanksi sosial, namun justru akan menimbulkan permasalahan baru pada pihak yang dituju. Selayaknya bullying, slut shaming juga seharusnya dilawan, karena melabeli dan memberikan stigma dalam bentuk seksual adalah hal yang salah.
Fenomena ini juga terkadang menjadi ambigu karena sebagian perempuan beraganggapan bahwa panggilan seperti ‘pelacur’ adalah tanda persahabatan atau sebuah bentuk keakraban. Namun, hal itu justru menjadi celah bagi orang untuk melontarkan kata-kata tersebut kepada siapa saja tanpa peduli akrab atau tidak. Terlepas dari konotasi negatif atau tidak, penting untuk berhati-hati dalam berucap. Hendaknya memikirkan dampak apa yang akan ditimbulkan dari ucapan tersebut. (f)
Baca Juga:
Memasuki 2022, Presiden Dorong Percepatan Pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual
Trending Kasus NWR, Bukti Kekerasan Pada Perempuan di Indonesia Masih Rentan
Rayakan Hari Toleransi Sedunia, STOP Bullying di Tempat Kerja
Topic
#slutshaming , #kekerasanpadaperempuan, #cyberbullying, #bullying