Foto: Pixabay
Belajar dari pengalaman saat libur Lebaran dan Hari Kemerdekaan lalu, ternyata, libur panjang terbukti berdampak pada kenaikan kasus positif penyebaran wabah COVID-19 di tingkat nasional. Data saat itu menunjukkan terjadinya kenaikan absolut pada Positivity Rate atau hasil tes positif sampai 3,9% dalam kurun waktu dua minggu di tingkat nasional.
Menyambut libur panjang yang terjadi pekan depan, mulai Kamis 29 Oktober hingga Minggu, 1 November, Koordinator Tim Pakar dan Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19, Prof Wiku Adisasmito, untuk menahan diri melakukan mobilitas, jika tidak bernar-benar mendesak.
"Keputusan untuk keluar rumah harus dipikirkan secara matang dan mempertimbangkan semua risiko yang ada," jelasnya dalam keterangan pers yang disiarkan kanal YouTube BNPB Indonesia, Selasa (20/10/2020).
Bagi masyarakat yang dalam keadaan mendesak harus melakukan kegiatan di luar rumah selama periode libur panjang tersebut, Prof. Wiku sekali lagi mengingatkan untuk mematuhi protokol kesehatan 3M yaitu memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan serta hindari kerumunan.
Begitu pula bagi keluarga yang menerima kunjungan dari keluarga dan sanak saudaranya saat libur panjang ini, untuk tetap menjaalankan protokol kesehatan 3M selama menerima tamu. Meskipun tamu merupakan bagian dari keluarga tetap terapkan protokol kesehatan yang ketat. "Karena kita tidak tahu dengan siapa sebelumnya keluarga kita tadi berinteraksi," lanjut Prof. Wiku.
Ia pun mengajak masyarakat belajar dari pengalaman saat libur lebaran Idul Fitri (22 - 25 Mei 2020) dan Hari Kemerdekaan RI (20 - Agustus) tahun ini. Saat Idul Fitri, terdapat kenaikan jumlah kasus harian dan kumulatif mingguan sekitar 69 - 93% dengan rentang waktu 10 - 14 hari. Lalu saat libur HUT RI, kenaikan jumlah kasus harian dan kumulatif mingguan naik sebesar 58 - 118% pada pekan ketiga Agustus dengan rentang waktu 10 - 14 hari.
"Hal ini dipicu karena kerumunan di berbagai lokasi yang dikunjungi masyarakat selama liburan, serta tidak patuhnya masyarakat terhadap protokol kesehatan," tegasnya.
Hubungan antara tingkat mobilitas dan peningkatan angka positif COVID-19 ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan Zhou (2020). Penelitian ini menunjukkan pengurangan mobilitas dalam kota sebanyak 20 persen dapat melandaikan kurva kasus sebanyak 33 persen, dan menunda kemunculan puncak kasus selama 2 minggu.
Sedangkan pengurangan mobilitas dalam kota sebanyak 40%, dapat melandaikan kurva kasus Covid-19 sebanyak 66% dan menunda kemunculan puncak kasus selama 4 minggu. Bahkan pengurangan mobilitas dalam kota sebanyak 60% dapat melandaikan kurva kasus sebanyak 91% dan menunda kemunculan kasus selama 14 minggu.
Studi lainnya dari Yilmazkuday dengan judul "Stay at Home Worth to Fight Against Covid-19: International Evidence from Google Mobility Data”(2020), dan dibuat dari 130 negara, menyatakan jika 1% peningkatan masyarakat yang berdiam di rumah akan mengurangi 70 kasus dan 7 kematian mingguan. Bahkan 1% pengurangan mobilitas masyarakat menggunakan transportasi umum baik di terminal bus, stasiun kereta atau bandara, akan mengurangi 33 kasus dan 4 kematian mingguan.
"Satu persen pengurangan kunjungan masyarakat ke retail (pusat perbelanjaan) maupun tempat rekreasi, juga akan mengurangi 25 kasus dan 3 kematian mingguan. Begitu juga apabila terjadi pengurangan satu persen ke tempat kerja atau work from office, akan mengurangi 18 kasus dan 2 kematian mingguan. Bisa kita bayangkan berapa banyak nyawa yang bisa kita lindungi dengan pengurangan kunjungan seperti tadi," ujar Prof. Wiku.
Baca Selanjutnya:
Faunda Liswijayanti
Topic
#IngatPesanIbu, #3M, #Satgas, #Libur, #covid19, #corona