Trending Topic
Presiden Jokowi Resmikan Peraturan Kebiri Kimia untuk Predator Seksual. Ini Fakta yang Perlu Diketahui

4 Jan 2021


Dok. Unsplash



Kasus pelecehan dan kekerasan seksual pada anak tak pernah ada habisnya. Hal ini masih jadi momok yang menakutkan. Pun penanganan terhadap kasus-kasus ini bergerak lambat dan cenderung merugikan korban.

Dapat dilihat dari lambatnya pemerintah dalam membahas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual selama bertahun-tahun dan tak digubris. Alih-alih masuk dari Prolegnas Prioritas DPR, RUU ini justru dianggap 'terlalu sulit' untuk dibahas. Ujung-ujungnya, wanita dan khususnya anak-anak masih jadi kelompok yang paling rentan dan kerap dihantui oleh ketakutan-ketakutan yang tak pernah ada habisnya.

Namun, memasuki tahun 2021, ada kabar yang sedikit berbeda. Presiden Joko Widodo baru saja menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Kebiri untuk Predator Seksual. PP Nomor 70 tahun 2020 tentang Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitas dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak akhirnya ditandatangani pada 7 Desember 2020 lalu. 

Dalam PP ini dirincikan bahwa regulasi diperuntukkan bagi :

- Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak

- Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan kepada Anak dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan Seksual Memaksa Anak Melakukan Persetubuhan dengannya atau dengan Orang Lain (Pelaku persetubuhan)

- Pelaku Tindak Pidana Perbuatan Cabul kepada Anak dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan Seksual, Memaksa, Melakukan Tipu Muslihat, Melakukan Serangkaian Kebohongan, atau Membujuk Anak untuk Melakukan atau Membiarkan Dilakukan Perbuatan Cabul. (Pencabulan)

Setelah disahkannya regulasi ini, maka para predator seksual yang sudah ditetapkan secara hukum dapat diberlakukan kebiri kimia, pemasangan alat deteksi elektronik (chip) dan identitas diri yang dipublikasikan ke masyarakat. 

"Pelaku tidak semata-mata disuntikkan kebiri kimia, tetapi harus disertai rehabilitasi untuk menekan hasrat seksual berlebih pelaku dan agar perilaku penyimpangan seksual pelaku dapat dihilangkan," ujar Nahar, Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, seperti dikutip dalam siaran pers KPPPA.

Adapun rehabilitas yang akan dilakukan meliputi rehabilitasi psikiatri, rehabilitasi sosial dan rehabilitasi medik. Sedangkan kebiri kimia dan pemasangan chip dikenakan untuk jangka waktu paling lama dua tahun dan setelah terpidana menjalani pidana pokok. 

Kendati demikian, kehadiran regulasi ini menuai pro dan kontra. Sebagian orang menyambut positif aturan ini, karena dianggap dapat memberikan efek jera bagi para pelaku predator seksual, khususnya terhadap anak-anak. Namun, tak jarang pula yang tak setuju dengan peraturan ini. 

Misal saja seperti Komnas Perempuan yang menentang kebijakan ini, karena tujuan utama pemidanaan hanya untuk mencegah dilakukannya tindak pidana.

"Pengebirian tidak akan mencapai tujuan tersebut karena kekerasan seksual terhadap anak terjadi karena relasi kuasa yang tidak setara baik karena usianya atau cara pandang pelaku terhadap korban," ujar Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, seperti dikutip dari detik.com. 

Selain itu, menurutnya, kekerasan seksual terjadi tak semata hanya karena libido atau kepuasan seksual. Namun juga terjadi karena sebagai bentuk penaklukan, ekspresi inferioritas maupun menunjukkan kekuasaan maskulin, kemarahan atau pelampiasan dendam. Sehingga, mengontrol hormon seksual dianggap tak akan menyelesaikan masalah kekerasan seksual. (f)



BACA JUGA :
Risiko Kekerasan Online Pada Anak Perempuan Meningkat di Masa Pandemi
Tren Gangguan Mental Pada Remaja Meningkat, Orang Tua Diharap Lebih Peka
Tantangan Parenting Orang Tua Milenial Dari Informasi hingga Strangers



 


Topic

#anak, #kekerasanseksual, #jokowi