
Tidak ada yang lebih pas bercerita tentang jalan hidup selain di sebuah tempat makan enak. Femina ‘menangkap’ dua sosok unik di bidang kuliner. Mereka adalah chef-restaurateur yang sukses menciptakan restoran Vietnam hip dan seorang backpacker yang berburu makanan dunia. Femina menemani 'misi' keduanya untuk mencari makanan autentik, sembari mengulik cerita inspiratif di sela-sela perjalanan.

MENCOBA MI BELITUNG DAN ES KOPI
Chef sibuk, Nam Quoc Nguyen, mewujudkan rencana jalan-jalan bersama femina setelah tertunda sekian bulan karena kesibukannya mengelola 4 outlet NamNam Noodle Bar di Singapura, 3 di Jakarta, dan segera di Filipina. Di antara hiruk pikuk aktivitas berjualan di Gang Kalimati, Petak Sembilan, kami bersua di Lao Hoe, kedai mi (Bangka) Belitung yang juga punya menjual cempedak goreng enak.
Sejumlah pelanggan senior tampak bercengkerama menghabiskan sisa pagi selepas jogging sambil menyeruput kopi Medan. Di Lao Hoe -berarti ‘orang tua’-- interior lawasnya terjaga, diisi altar, ubin kuno, dan warna biru peranakan pada pintu. Laksa, one dish meal hasil asimilasi dengan kultur Tionghoa, diracik porsi demi porsi oleh Encik Linda Aliadi di wajan kecil. Ayam suwir dan bihun berpadu dengan kuah santan warna kunyit berwangi kemangi. Di Bogor, keluarga Encik Linda telah berjualan ini di sebuah warung sejak tahun 1940-an.
“Cempedaknya lagi kurang matang. Guyur sirop gula aja,” saran encik Linda. Cempedak –Artocarpus integer, sekeluarga dengan nangka-- memang manis sekali kalau matang, berserat halus, dengan wangi yang menusuk. Tak semua orang Jakarta pernah mencoba buah yang familiar di lidah Melayu-Sumatra ini. Sambil menikmati mi Belitung, Nam bercerita tentang kisah hidupnya, alasan besar ketertarikan femina untuk bertemu. Ia telah melalui perjalanan jauh hingga akhirnya menjadi salah satu restaurateur sukses di Singapura. Nam yang kala itu berusia 7 tahun melarikan diri bersama keluarga ke Denmark ketika Vietnam jatuh ke tangan komunis. Satu-satunya cara membangkitkan kenangan rasa makanan kampung halaman adalah lewat masakan ibu, sosok yang disebutnya jagoan masak.“Filosofi beliau, makanan adalah cara terbaik untuk mengingat kultur. Makan malam bersama keluarga selepas sibuk di sekolah menjadi momen di mana saya kembali ingat kampung halaman,” kenang chef yang pernah bekerja di Le Canard, restoran di Oslo peraih satu bintang Michelin, ini.
Ia bercerita bagaimana pengalamannya bergabung di pasukan perdamaian PBB di Yugoslavia menjadi cikal bakal ketertarikannya terhadap makanan. Di tengah musim salju yang menyiksa -kala itu mencapai -20o C-- ia mendapat akal untuk menghangatkan diri dengan coba-coba masuk ke dapur barak. “Setengah bercanda, saya mengatakan kepada komandan akan memasak Chinese food enak. Menilai dari tampang Asia saya, ia percaya saja, ha…ha…ha…,” ujarnya, tertawa lepas.
Kami menyambung obrolan di kedai Kopi Es Tak Kie. Ia duduk tanpa jengah di kedai sederhana yang berdiri tahun 1927 itu, memesan es kopi gelas kedua, walau ia menyebut lidahnya lebih cocok dengan cà phê sữa đá (es kopi susu Vietnam).
Ia melanjutkan cerita. “Karena tak ada cabai di dapur, saya nekat mencampur-campur paprika bubuk, kari bubuk, bawang putih, jahe, dan apa pun yang saya rasa ‘cukup Asia’,” ujar Nam. Karena Chinese food di tahun ‘90-an itu memang belum terlalu dikenal di Eropa, nasi goreng ala kadarnya itu justru dipuji. “Ha… ha… ha…. Mungkin karena lebih ‘bercita rasa’ ketimbang masakan Eropa itu-itu saja yang biasa dimakan oleh teman-teman,” ujarnya, renyah.
Ia menyukai atmosfer dapur yang dinamis itu. “I felt liberated,” ucapnya, singkat. Ia akhirnya menempuh sekolah kuliner di Kopenhagen selepas tugas dan bekerja di negara-negara Skandinavia. “It’s funny how I found my passion in an army kitchen, not a restaurant kitchen,” lanjutnya.

SINGGAH KE LAPO DAN RM PADANG
Kami melanjutkan ‘petualangan’, melintasi Jalan Ahmad Yani dan Jalan Pramuka, menuju Lapo Lap Sito (singkatan dari lapo Siagian boru Tobing). Di sampingnya berderet lapo dengan penggemar tersendiri. “Lapo ini punya sentuhan andaliman yang menonjol di dalam lauk saksang maupun ayam gota. Plus sambal hijau dengan jeruk ute jungga yang nendang,” ujar femina.
Kami disambut band Batak yang sedang ngamen. Lapo yang cukup besar akan menyediakan tempat untuk band bernyanyi agar pengunjung betah. Lagu-lagu ‘wajibnya’ seperti Sai Anju Ma Au dan O Tano Batak.
Di meja segera tersaji saksang, arsik ikan mas, babi panggang, dan sayur daun ubi, mewakili karakter hidangan yang cenderung pedas, sarat bumbu, dan ‘menyegarkan’ di hidung karena aromatik. Ia terperangah mendapati rasa sambal andaliman yang kecut dan wangi bak sitrus, serta meninggalkan rasa kebas yang berlalu cepat, tak ‘setebal’ merica szechuan. Ia turun ke dapur, ngobrol dengan menantu sang pemilik yang menunjukkan rupa andaliman, asam cikala, dan sewajan arsik ikan mas.
Karena tak sempat memboyong Nam ke rumah makan Sabana Kapau yang sangat merakyat di area Pasar Minggu, sore dihabiskan di rumah makan Minang di segitiga emas, Bopet Mini. Sudah lebih dari setengah tahun terakhir Bopet Mini berpindah dari kios Pasar Bendungan Hilir. Nam melihat sajian prasmanan sarat bumbu, santan, dengan teknik slow-cooking. Ia mencoba beberapa, sambil mematut-matut isinya. “Walau disajikan sepanjang hari, tetap enak karena bumbu yang padat membuat cita rasanya tetap kuat walau tak lagi panas,” nilainya, sambil mengudap keripik singkong balado.
Ia tak melewatkan sejumlah pencuci mulut di Bopet Mini, termasuk bubur kampiun. Nama 'kampiun' pada bubur isi srikaya, candil, bubur kacang hijau, bubur sumsum, ketan putih, dan pacar cina ini pernah disebutkan penulis dan pemerhati kuliner Minang, Reno Andam Suri, sebagai serapan kata ‘champion’ karena menyatukan semuanya dalam satu piring. Serabi Padang, talam srikaya atau katupe (alias ketupat sayur) di tempat ini juga ramai dipesan di waktu sarapan.
Ia membawa femina ke sepotong cerita kala menolong ratusan pengungsi muslim Serbia. Suatu kali, sambil berjaga di sekitar tenda di malam hari, kesamaan masa lalu membuatnya merasakan perasaan tercekam pengungsi. Pagi-pagi sekali, ia nekat membawa stok makanan dari dapur walau akhirnya dihadang oleh senapan teman sendiri. “Pengungsi ini benar-benar butuh makanan!” seru Nam. Beruntung, ia diloloskan sang komandan.
Di akhir perjalanan dengan femina, ia menyimpulkan kesukaannya pada gaya masakan Batak, serta betapa cita rasa Indonesia secara keseluruhan bisa begitu kompleks dan saling berbeda.

HIDANGAN MANADO DAN BETAWI
Pertemuan femina dengan Derya Ozyuvali yang beken dengan nama Foodie Backpacker ini terjadi tak sengaja melalui Facebook. Januari lalu, traveler asal Turki ini mengumumkan kalender perjalanannya ke Asia Tenggara, yaitu Kamboja, Thailand, Hong Kong, dan Indonesia. Sekali mengumumkan jadwal, undangan jajan oleh blogger dan media datang bertubi-tubi.
Ia menjatahkan hari yang cukup panjang di Indonesia karena ingin mengeksplorasi Jakarta, Yogyakarta, dan Bali. Lewat percakapan singkat surel, ia langsung mengiyakan kala femina mengajaknya bereksplorasi kuliner. Permintaannya hanya satu, “Jangan pulang terlalu larut supaya saya masih memiliki sedikit me time.” Melihat jadwal terbangnya yang beruntun, femina menebak-nebak me time yang dimilikinya hari itu berujung pada mengistirahatkan perut kenyang di kamar hotel!
Pria berumur 36 tahun ini melancong antar negara dengan jeda sekian hari saja di Turki untuk pengurusan dokumen perjalanan. Ia tak pula memiliki rumah di Turki, selain alamat rumah orang tua. Ia menyebut dirinya travelling cook karena di luar aktivitas jajan di tiap negara, ia mencari host lokal dan menjadi private ‘chef’ untuk sebuah sesi dining. Tak jengah masuk ke dapur orang tak dikenal? “Ah, saya justru menyukainya. Lagi pula, kala harus mendapatkan privacy atau merasa tak perlu mendengar sesuatu, saya terlatih untuk menutup diri, shutting down myself from the world, ha… ha… ha…,” ujarnya, tertawa.Berbeda dengan keluarga Eropa yang terbiasa mengadakan jamuan di rumah, ia tak menerapkannya di Asia Tenggara. “Saya perlu mengenali gaya hidupnya dulu,” ujarnya. Sehari sebelum bertemu, ia tampil sebagai pemasak di Turkish food workshop milik pebisnis kuliner Chrysansia Chitra.
“Just don’t kill me!" guraunya, saat diberi tahu akan menghadapi banyak rasa pedas dan berbumbu ala Manado. RM Tinoor Permai di bilangan Kramat jadi destinasi pertama. Ia sigap mendokumentasikan tinoransak, ikan bakar woku, sayur kembang pepaya, dan ragey (satai babi), yang lalu diunduh ke akun media sosialnya.
Ia dekat dengan dunia wisata karena merupakan pemilik salah satu biro perjalanan terbesar di Turki. Siang dan malamnya juga dihabiskan dengan menggelar banyak festival musik yang melibatkan DJ dunia. Ia melepas ini semua karena jenuh, beralih ke ketertarikannya untuk mengeksplorasi dunia. Ia mendapatkan pengetahuan memasak dari kursus dan hobi makan di mancanegara.
Bukti dirinya kebal dengan cabai adalah ketika melahap sesendok nasi dan tinoransak (babi masak pedas) dengan ekspresi wajah santai. Ini biasanya tidak terjadi pada orang kulit putih lainnya. Sambil menikmati beberapa tusuk ragey, ia terkesan soal cerita dapur Sulawesi Utara yang begitu kaya berkat kombinasi kekayaan seafood, bumbu lokal, ditambah pengaruh kolonial Belanda dan Portugis. Sebelum meninggalkan rumah makan yang dipenuhi oleh pengunjung beretnis Manado dan Ambon yang sedang makan siang, ia mengajak pemilik rumah makan foto bareng. Wanita paruh baya ini malu-malu saat Derya merangkulnya ramah.
Tak sampai sejam, kami sudah sampai di kawasan Taman Mini, Jakarta Timur. “Ini warna hitam dari mana?” tanyanya penasaran, saat menyendok kuah gabus pucung di rumah makan masakan Betawi Hajah Dahlia yang sudah berdiri puluhan tahun. Femina memperlihatkannya sebutir keluak sambil menjelaskan kegunaan bahan unik ini.
Secara bergantian Derya menyuap satu per satu sup iga, soto Betawi, pecak ikan mas, dan rempeyek udang. Ia ketagihan menyeruput kuah santan soto Betawi. “Ini paling enak,” katanya, sambil mengumumkan kecintaannya pada santan. Bicara soal siraman bumbu pecak, pria yang pernah mempunyai peternakan sapi dan domba ini ternyata ngeh dengan sedikit kemiripannya dengan sambal dabu-dabu di ikan bakar woku. "Pedas dan segar!" tukasnya.

KE TELUK GONG DEMI MI BAGANSIAPIAPI
Untuk ukuran pria yang doyan makan, Derya tampak cerdas me-manage kapasitas lambungnya. Demi ingin mencicipi semua rasa, Derya ‘hemat’ menyendok tiap jenis makanan yang dicobanya. Begitu juga saat kami ‘menyeberangi’ dapur Pulau Jawa menuju dapur tanah Sumatra. Kali ini sisi peranakan Tionghoa di daerah Bagansiapiapi, Riau, menjadi penjajakan berikut.
Keunikan rasa bakmi Bagansiapiapi di Mie Tiau, Teluk Gong, menjadi alasan mengapa Derya harus mencicipinya. Penggila mi ini harus mencoba mi tipis dengan potongan daging babi merah dan kucuran kecap asin rumahan itu. Meski blusukan ke jalan kecil dekat pasar, lezatnya mi, nasi kari daging, dan kuo tie goreng ala Bagan berhasil memuaskan pencinta pantai ini.
Tak jauh dari Teluk Gong, keramaian jajanan sore di Pasar Petak Sembilan, Glodok, bikin penasaran. Aroma smokey dari gerobak satai Padang dengan isian tak biasa --potongan usus berisi lemak-- berhasil menggoda kami untuk mampir sejenak. Ia sempat heran dengan satai lidah sapi yang direbus hingga empuk dan bersiram saus berempah itu.
Sebagaimana banyak dari perjalanan terdahulu, kunjungannya kini didukung sebuah merek liquer dari Turki. Sebagai blogger, ia menguratori undangan makan atau akomodasi sesuai gaya traveling-nya yang relaks dan muda.
Kami menghampiri gerobak kelepon. Selama seharian, belum satu pun sajian manis yang dicobanya. “Interesting,” ujarnya semringah, saat isian kinca kelepon pecah di dalam mulut. Pesona paduan tepung ketan, gula merah, dan kelapa parut berhasil mencuri hati pria yang nyatanya bukan penyuka manis ini. “Suatu saat saya akan membuka restoran dengan menu yang berganti tiap harinya sesuai dengan suasana hati,” tutupnya, kepada femina.

Rute Kuliner
- Kedai Lao Hoe, Jl. Pancoran V/No.10, Gg. Kalimati, Petak Sembilan, Glodok (021-6393431/ 0815 1806 409), Kamis libur.
- Lapo Lap Sito, Jl. Pramuka No.33A, Jakarta Timur (021-8580816)
- Kopi Es Tak Kie, Jl. Pintu Besar Selatan III/No.406, Gg. Gloria, Petak Sembilan, Glodok (021-6928296)
- Bopet Mini, Jl. Bendungan Hilir Raya, Jakarta Pusat (021-5713505)
- RM. Hj. Dahlia, Jl. Raya Hankam Taman Mini Pintu 1, Jakarta Timur (021-87799552)
- RM Tinoor Permai, Jl. Kramat IV No.5, Senen, Jakarta Pusat.
- Bakmi Bagan/ RM. Mie Tiau, Jl. L No.62 H, Teluk Gong, Jakarta Utara.
- Satai Padang, Pasar Petak Sembilan, Glodok.
TRIFITRIA S. NURAGUSTINA, VALENTINA LIMBONG.