
Foto: Pixabay
Pernikahan mestinya membuat bahagia. Memiliki seseorang yang bisa disayang dan juga menyayangi. Tetapi, pernikahan juga seperti memilih kucing dalam karung. Kita tak pernah tahu pasti, apakah akan mendapatkan yang sesuai keinginan kita. Kalau (kebetulan) dapat pasangan yang baik, itu sebuah anugerah. Tetapi, kalau ternyata yang didapat adalah 'kucing' yang (tampak) manis tapi suka ’mencakar’ dengan kata-katanya, apa yang perlu dilakukan?
Kekerasan, baik fisik, seksual, ekonomi, maupun verbal bisa berdampak psikologis terhadap istri. Ejekan atau sindiran itu bisa sangat menyakiti. Tapi, itu tergantung konteks dan intensitas suaranya. Misalnya, ketika sedang bercanda bersama teman, kita mengeluarkan kalimat: “Bodoh banget, sih, kamu...,” kita bisa tertawa bersama.
Namun, bila ditujukan pada pasangan, akan jadi menyakitkan. Terlebih, jika diikuti suara bernada tinggi. Meskipun, suara untuk intensitas ini budaya juga memengaruhi. Misalnya, orang Sumatra cenderung bicara lugas dan bernada keras, belum tentu bermaksud marah.
Seseorang yang berkepribadian kasar, biasanya dipengaruhi oleh cara ia dibesarkan. Misalnya, jika sejak kecil ia terbiasa mendengar kata-kata kasar, ketika berkeluarga ia cenderung bersikap serupa. Lidah tajam ini sering timbul, jika kelelahan, cemburu, atau tertekan.
Lalu, kata-kata seperti apa yang sudah merupakan bentuk kekerasan?
1. Bila kata-kata itu membuat pasangan merasa direndahkan.
2. Bila hubungan suami istri sampai merenggang. Akibatnya, ketika mengatakan sesuatu yang tak enak, cenderung bersikap menekan pasangan.
3. Bila sindiran yang disertai sikap merendahkan itu berlangsung secara periodik. Sehingga, pasangan menjadi tertekan dan tidak percaya diri.
Sikap kasar suami belum tentu cerminan dari gangguan jiwa. Meski pada masa kecilnya, bisa jadi pasangan memang sering menyaksikan ’tontonan’ kekerasan verbal yang dilakukan ayah terhadap ibunya. Di sini, yang terpenting adalah sikap asertif (mengungkapkan apa yang ada di hati dan pikiran tanpa membuat orang lain terluka) Anda, dalam menghadapi suami. Jangan hanya diam terhadap perlakuan kasar suami. Namun, Anda harus belajar menjawab sindiran atau ejekannya secara strategis, agar posisi Anda jadi setara dengan suami, seperti dengan teknik membalikkan kata-katanya.
Bila suami menyebut Anda sebagai wanita liar, Anda bisa menjawabnya: “Kok, kamu mau dengan wanita liar? Berarti, kamu juga liar, dong?” Contoh lain, Anda disebut tak pantas dicemburui, karena bukan bintang film. Anda bisa membalasnya dengan berkata, “Karena saya bukan bintang film, berarti boleh dong saya menerima telepon ini….”
Pada saat situasi dirinya sedang nyaman, Anda perlu mengungkapkan betapa Anda tidak menyukai sikapnya yang suka menyindir atau mengejek. Ungkapkan pula bahwa akibat sindiran itu, Anda merasa direndahkan. Ajaklah ia belajar mengungkapkan keberatan atau ketidaksukaannya tentang sikap Anda dengan cara terbuka, tanpa bersikap mengejek atau dengan emosi tinggi.
Bila tingkatannya sudah parah, mungkin saja orang yang berperilaku kasar itu memang terganggu kepribadiannya. Sehingga, dia selalu menyalahkan orang lain. Bila korbannya tidak ada, dia menjadi panik. Karena, dia membutuhkan pasangannya sebagai sasaran untuk disalahkan dan diejek, sebagai pelampiasan dari kecamuk di hatinya.
Jika kekerasan verbal ini terus terjadi, tak ada salahnya Anda meminta pisah sementara, agar masing-masing berintrospeksi. Ketika bersama lagi, Anda boleh membuat perjanjian hukum, berisi hal-hal yang tidak boleh dia lakukan terhadap Anda. Kalau Anda telanjur menjadi tak percaya diri karena sikapnya, cobalah menggiatkan aktivitas di luar rumah. Ini bisa mengisi kembali rasa percaya diri yang sudah tergerus oleh sikap kasar suami. (f)
Baca juga:
- 3 Cara Mengontrol Amarah Pasangan
- 4 Keluhan Umum Pria yang Sering Jadi Alasan Perceraian
- 40 Cara Membangun Keintiman dengan Pasangan: Emotional Intimacy (Bagian 1)
Topic
#Kekerasan