Profile
Sri Wahyuni, Underdog yang Membuka Jalan Medali bagi Indonesia

13 Oct 2016


Foto: Image Forum

Gagal membawa pulang medali di ajang kompetisi angkat besi internasional dan dunia pada tahun 2015, namanya nyaris dicoret dari delegasi atlet pembela tanah air di ajang Olimpiade Rio de Janeiro 2016, di Brasil. Di luar dugaan, ia justru membuka jalan medali bagi Indonesia. Perak pertama yang dikalungkan ke leher Sri Wahyuni Agustiani (22) menjadi pembakar semangat atlet tanah air lainnya untuk memenangkan kehormatan bagi Indonesia!
 
Nama Sri Wahyuni tidak terdaftar di antara 28 atlet tanah air yang membela Indonesia di ajang Olimpiade Rio 2016. Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas (Satlak Prima) meragukan kemampuannya. Selama tahun 2015, Yuni dinilai tidak menunjukkan prestasi. Di tahun itu tak ada satu pun medali berhasil ia bawa pulang. Begitu juga  saat   berlaga di kejuaraan dunia World Weightlifting Championship 2015 di Houston, Texas, Yuni pulang dengan tangan hampa.

Namun, kepercayaan besar dari Pengurus Besar Persatuan Angkat Besi, Binaraga, dan Angkat Berat (PB PABBSI) berhasil meyakinkan Satlak Prima, sehingga nama Yuni masuk. Sempat dianggap underdog, Yuni malah menjadi atlet pertama yang menaikkan Sang Saka Merah Putih di Rio de Janeiro. “Tuhan punya rencana lain, dan jauh lebih indah,” ungkapnya, tentang liku-liku keberangkatannya ke Rio.

Dengan total angkatan 192 kilogram, wanita mungil bertinggi tubuh 147 sentimeter dan berat 47,25 kilogram ini berhasil mengalahkan lifter Jepang peringkat empat dunia, Hiromi Miyake. “Sembilan tahun saya menunggu momen ini,” ungkap lifter peringkat 14 dunia ini, tentang kesempatan membela negara di ajang olimpiade.

Lebih dari itu, kemenangan Yuni juga ikut membakar semangat juang atlet tanah air lainnya di Rio. Para atlet bulu tangkis pun tak ketinggalan meminta cipratan energinya. “Mbak, tolong doakan dan transfer tenaga, ya, biar kami juga bisa pulang membawa medali,” ungkap mereka, di sela latihan jelang pertandingan. Dengan gayanya yang kocak dan ceplas-ceplos, Yuni menjawab, “Masa kalah sama junior. Kalian pasti bisa!”

Sengatan semangat itu menjalar cepat. Sehari setelah Yuni, sesama atlet angkat besi, Eko Yuli Irawan, menyusul dengan perolehan perak di kelas 62 kilogram. Puncaknya ketika duet Tontowi Ahmad dan Liliyana Natsir berhasil meraih emas, sebagai kado terindah di ulang tahun Indonesia ke-71.

“Saya sangat bersyukur akhirnya bisa membuat bangga Indonesia. Tiap bertanding, yang saya ingat hanyalah membawa kemenangan untuk Indonesia,” ujarnya. Komitmennya ini kembali teruji di ajang Pekan Olahraga Nasional (PON) XIX yang baru saja berlalu. Sepulang dari Olimpiade Rio, dengan jeda waktu hanya dua minggu, Yuni berlaga di PON. Tidak hanya pulang membawa emas untuk Provinsi Jawa Barat, ia juga berhasil memecahkan rekor pelatihnya sendiri, M.G. Supeni, lewat angkatan 81 kilogram.

“Motivasi Yuni cukup tinggi. Walau ada naik turunnya, ia berusaha tetap menjalani, tidak pernah lari, siapa pun pelatihnya, ia akan terus mencoba. Dia selalu punya keinginan untuk menjadi nomor satu, memberikan yang terbaik,” ungkap Supeni, tentang anak didik yang dipercayakan oleh PB PABBSI kepadanya sejak tahun 2014 itu.

Bagi Yuni, sebagai seorang atlet, sumber ketakutan itu tidak datang dari siapa yang menjadi lawan tandingnya. “Saat bertanding, saya sama sekali tidak memikirkan lawan. Musuh terbesar saya adalah diri sendiri. Semua atlet mengalami peperangan yang sama. Bohong, jika sampai ada yang berkata tidak,” tegasnya. Sebab, dari dirinya sendirilah segala keraguan dan ketakutan akan kegagalan itu bersumber. Ketika ia berhasil memenangkan pertempuran terbesarnya itu, maka ia telah selangkah menuju kemenangan. (f)

Baca Juga:


Topic

#wanitahebat