Profile
Dellie Treeshyadinda, Atlet Panahan Muda Indonesia

10 Jun 2016


Foto: I Putu Surya K.B. (Kontributor-Surabaya)

Dua generasi keluarganya mengukir prestasi gemilang dalam cabang olahraga panahan di tanah air. Kini, sebagai generasi ketiga, Dellie Treeshyadinda (26) memegang tongkat estafet untuk mengharumkan dunia panahan Indonesia. Bukan beban berat, ia justru menyikapi hal ini sebagai  tantangan. Mimpinya kini tak hanya medali emas olimpiade, tapi bagaimana membuat masyarakat Indonesia lebih dekat dengan olahraga panahan.
 
Target Tinggi
“Saya seharusnya sudah kembali ke pelatnas dari liburan seminggu lalu. Tapi, karena sedang tidak enak badan, saya izin dulu untuk istirahat di rumah,” ungkap  Dellie,  yang saat itu tengah berada di kampung halamannya, di Surabaya. Walau wawancara dilakukan lewat telepon, suara hangat dan ramah yang terdengar dari atlet berparas cantik ini membuat obrolan mengalir santai. 

Lahir dalam keluarga atlet panahan, wanita yang biasa disapa Dinda ini sudah sangat akrab dengan busur dan anak panah sejak masih kecil. Ibunya, Lilies Handayani, adalah srikandi panahan Indonesia  yang berhasil memboyong medali perak olimpiade untuk Indonesia tahun 1988. Itu adalah medali pertama yang didapat Indonesia selama berpartisipasi dalam olimpiade.
“Saat umur  tiga hingga empat tahun, saya sudah sering ikut Mama latihan dan lomba. Bisa dibilang, saya besar di lapangan panahan,” katanya.

Di usia 7 tahun, ia sudah mulai  berlatih  panahan di salah satu klub di Surabaya, milik keluarganya. Saat itu, masih sedikit pelajar yang tertarik pada olahraga panahan. Baru beberapa bulan berlatih, bakat  besar Dinda mulai terlihat. Ia pun terpilih untuk mengikuti berbagai pertandingan antarpelajar di Surabaya. Prestasinya cukup membanggakan, salah satunya dengan menjuarai turnamen panahan se-Surabaya.  

Tahun 2004, di usia 14 tahun, Dinda pertama kali mengikuti ajang Pekan Olahraga Nasional (PON) di Palembang dan berhasil menyumbang tiga emas untuk Provinsi Jawa Timur. Selanjutnya, ia tidak pernah absen  menjadi wakil Jawa Timur di ajang PON, seperti tahun 2008 di Samarinda dan tahun 2012 di Pekanbaru.
Tak hanya prestasi nasional, Dinda juga berhasil menorehkan prestasi di luar negeri. Salah satunya, ketika ia meraih medali perak di Kejuaraan Dunia Panahan tahun 2007 di Inggris. Tahun 2013, ia menjadi  salah satu atlet Indonesia yang menyumbang emas di SEA Games Myanmar.

Namun, karier Dinda  tak selalu  berjalan mulus, ia juga berkali-kali mengalami kegagalan. Seperti  tahun lalu, ia tak masuk peringkat dalam ajang Kejuaraan Dunia di Kopenhagen, Denmark. Meski  begitu, Dinda tak patah semangat. Ia tetap memiliki target tinggi, tak hanya di kawasan Asia, tapi juga dunia. Saat ini Dinda tengah melakukan persiapan untuk PON 2016 dan Kejuaraan Dunia Panahan di Antalia, Turki, yang akan berlangsung pertengahan tahun ini.

Pencapaian sang ibu dalam dunia panahan di Indonesia sedikit banyak menjadi pemicu semangat Dinda untuk mengantongi  prestasi yang lebih banyak lagi. “Prestasi Mama bukanlah beban. Orang lain mungkin  menganggapnya beban karena membandingkan pencapaian kami. Saya justru  menjadikan prestasi Mama itu sebagai tolok ukur saya untuk mencapai prestasi yang lebih baik lagi,” jelas anak pertama dari tiga bersaudara ini.

Berada di lingkungan keluarga yang sebagian besar menjadi atlet panahan bukan berarti Dinda mencapai prestasinya saat ini dengan mudah. Porsi latihannya sama dengan atlet-atlet lainnya, 6 hari dalam seminggu. Ia juga tak mendapatkan perlakuan istimewa dari sang ibu sebagai pelatih. Keuntungan justru ia rasakan di luar lapangan, karena ia memiliki kesempatan lebih banyak untuk sharing dengan ibunya.

“Obrolan-obrolan  saat di meja makan atau ketika sedang kumpul keluarga, membuat saya belajar lebih banyak lagi  tentang  teknik panahan. Olahraga ini cukup rumit dan butuh jam terbang yang tinggi. Saya juga bisa curhat kepada Mama kalau ada kendala. Justru pelajarannya banyak di sini,” katanya, tertawa.   
Meski begitu, kehidupan yang tak pernah  jauh dari busur dan anak panah sempat mendatangkan rasa jenuh dalam diri wanita kelahiran 12 Mei 1990 ini. Apalagi ketika ia merasa prestasinya jalan di tempat. Ujung-ujungnya, ia sempat ingin berhenti dan mencoba tantangan baru.
“Entah mengapa, ketika saya ingin mencoba fokus di tempat lain, saya justru seperti mendapat panggilan lagi dari panahan. Ketika mengikuti seleksi nasional beberapa waktu lalu, ternyata saya malah jadi nomor satu dan masuk pelatnas. Jadi semangat lagi untuk panahan,” kata wanita yang sempat mencoba olahraga menembak ini.
 
Melatih Kesabaran
Latar belakang keluarga yang sudah tiga generasi membesarkan olahraga panahan di Indonesia menorehkan kebanggaan di hati Dinda. Memang, tak hanya sang ibu, neneknya, Kusminah, juga salah satu penggerak olahraga panahan di tanah air. Keluarga adalah inspirasi besar yang  mendorongnya untuk mengikuti tradisi keluarga.

Dinda pun mengaku tak pernah merasa terpaksa menjadi atlet panahan. Ia cukup senang karena ibunya tak pernah memaksa dan selalu mengingatkan ia untuk memilih apa yang ia sukai. Termasuk ketika memilih untuk fokus di divisi compound, salah satu divisi baru di panahan. Panahan mengenal 2 kategori divisi, yaitu compound dan recurve. Perbedaan keduanya tak  hanya pada alat busur, tapi juga pada teknik dan jarak.

“Konsekuensinya, saya harus mempelajari lagi teknik baru dan menyesuaikan diri. Alat panah itu sifatnya pribadi. Tiap orang punya ukuran tangan  sendiri, jadi alat kita belum tentu enak bila dipakai  orang lain. Begitu juga sebaliknya,” jelas Dinda.

Makin mengenal dunia panahan membuatnya makin mengenal karakter diri sendiri. Pasalnya, olahraga ini, menurut Dinda, bukan olahraga yang tak hanya menuntut kekuatan fisik, tapi olahraga yang juga menuntut kemampuan mengendalikan perasaan. Kuncinya, menurut Dinda, percaya diri, tapi tanpa ambisi yang menggebu.  

“Saat di lapangan, atlet panahan harus tenang dan bisa mengontrol emosi. Di olahraga panahan, saya tidak bertanding dengan orang lain, tetapi dengan diri sendiri. Karena itu, sampai kapan pun saya tidak boleh berhenti belajar,” ungkapnya. Dina  mengakui, panahan telah membuatnya  menjadi  sosok yang lebih sabar. Karena, secara tidak langsung apa yang ia dapatkan di lapangan terbawa dalam kehidupan sehari-hari.

Di sela-sela rutinitas latihan yang padat dan harus bolak-balik Jakarta – Surabaya, Dinda mencoba berbagai hal untuk mengusir kebosanan. Ia beberapa kali tampil menjadi bintang di acara launching product, hingga menjadi model iklan. Semua itu Dinda jalani tak lepas dari kecintaannya pada dunia panahan. Karena misinya satu, bagaimana ia memperkenalkan olahraga panahan kepada masyarakat, terutama anak-anak muda.

“Ketika tampil, saya bukan Dinda seorang model, tapi Dinda atlet panahan. Tentunya secara tidak langsung orang-orang akan lebih kenal dengan olahraga panahan,” ungkapnya.

Saat ini ia juga merasa senang melihat olahraga panahan mulai disukai masyarakat. “Kalau diperhatikan, sekarang ini anak-anak kecil yang berlatih di lapangan  makin banyak, jika dibandingkan zaman saya kecil dulu. Belakangan, banyak juga selebritas yang mencoba olahraga ini,” katanya, senang.

Meski olahraga panahan melibatkan teknik yang rumit, menurut Dinda teknik tersebut bisa dipelajari siapa pun. “Tantangannya terletak pada bagaimana mempelajari teknik. Memang butuh proses untuk menjadi serius, tapi pasti bisa,” katanya, menyemangati. 

Membagi waktu antara latihan, keluarga, dan teman, serta sekolah dirasakan Dinda bukan perkara mudah. Tapi, ia justru merasa lebih nyaman ketika semuanya berjalan seimbang. Ia pun mengaku sangat mengidolakan sosok ibunya sebagai srikandi panahan Indonesia. Bukan hanya karena prestasi, tapi daya juang sang ibu yang sangat besar.

“Mama berprinsip, selama masih bisa menarik busur panahan, ia tidak akan pernah berhenti memanah. Kalau akhirnya Mama berhenti memanah, itu karena sakit. Semangat Mama itulah yang mendorong saya untuk bertahan di panahan,”  kata wanita yang menargetkan emas olimpiade ini, optimistis. (f)

Faunda Liswijayanti


Topic

#wanitahebat