
Dok. Rawpixel
Tidak jarang pasien sulit menerima hasil diagnosis yang mengejutkan, kalau itu menyangkut penyakit yang bisa merenggut nyawa atau membutuhkan biaya besar. Memang benar, sebagai pasien, saat menerima diagnosis, Anda harus kritis, tapi juga tidak boleh sok tahu.
Masih banyak orang merasa tidak enak hati atau takut mencari pendapat dokter kedua. Padahal, ini bukan sesuatu yang tabu, tapi malah disarankan.
"Mencari second opinion boleh dilakukan untuk masalah kesehatan apa saja. Tetapi, biasanya dilakukan untuk mengatasi penyakit yang sulit atau berat," ujar dr. Broto Wasisto, DTM&H, MPH, yang pernah menjabat sebagai pengurus Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK), PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Dalam mencari pendapat kedua, menurut dr. Broto, sebaiknya pasien memperhatikan etikanya.
"Seorang pasien yang ingin mencari pendapat kedua sebaiknya datang kepada dokter pertamanya dan meminta rujukan untuk mencari pendapat kedua. Dokter tersebut akan mengizinkan dan akan memberi surat pengantar yang berisi diagnosis dan pengobatan yang sudah diberikan. Dengan demikian, dokter kedua akan dapat memberikan pendapat kedua secara terarah."
Dokter Broto setuju bahwa tiap pasien boleh mencari pendapat kedua manakala ia merasa memerlukan perbaikan, tetapi sebaiknya melapor dan memberitahukan dokter pertamanya.
Menurutnya, pasien tidak perlu khawatir bakal ditolak, diomeli, atau dijudesi oleh dokter pertamanya. Para dokter paham bahwa tiap pasien mempunyai hak untuk memperbaiki atau menentukan nasibnya.
Pendapat kedua ini juga tidak harus di rumah sakit yang sama, bisa juga di rumah sakit lain, di dalam atau di luar negeri. Berdiskusi dengan dokter pertama dalam hal ini bisa membantu.
Apalagi dengan begitu banyaknya informasi dan kemudahan yang diberikan rumah sakit di luar negeri, terkadang membuat pasien jadi bingung.
"Kalau mencari pendapat kedua ke luar negeri sebaiknya konsultasi dulu kepada dokter pribadi kita agar tahu dokter mana atau rumah sakit mana yang akan dituju,” jelas dr. Broto.
Jangan ke luar negeri tanpa lebih dulu mengetahui dokter dan rumah sakit yang dituju, apalagi tanpa informasi apa pun.
Tentu saja dokter yang dapat memberikan pendapat kedua seharusnya memiliki kompetensi yang setara. Misal, jika sebelumnya pasien sudah berkonsultasi dengan dokter spesialis, maka saat mencari pendapat kedua ia seharusnya mendapatkannya dari dokter spesialis juga, atau lebih baik lagi kepada dokter yang lebih ahli dan kompeten. (f)
BACA JUGA :
Deteksi Dini Kerusakan Otak, Risiko Demensia
Pusat Layanan Prostat Kini Hadir di RS Cipto Mangunkusumo
Vaksin Flu Tak Hanya Diperlukan Jamaah Haji, Ini Alasannya
Topic
#secondopinion