Health & Diet
Ini Dampak Kesepian Terhadap Kesehatan Generasi Z

17 Nov 2018


Foto: Pexel
 
Teknologi seringkali disebut sebagai kambing hitam dari kesepiannya para gen Z. Tapi itu hanya satu dari sekian penyebab. Ainun Chomsun, pemerhati literasi digital, melihat bahwa para gen Z menghadapi tantangan yang berat.
 
“Gen Z seperti mendapatkan tantangan ganda. Di dunia online seperti di media sosial, mereka dituntut tampil eksis dan sempurna. Sementara di dunia offline, mereka kesulitan menjalin hubungan karena lebih terbiasa berkomunikasi di dunia maya yang serba instan dan tidak intim,” papar wanita yang juga kerap memberikan literasi digital untuk orang tua di media sosial ini.
 
Hal inilah yang membuat mengapa gen  menghadapi peer pressure yang lebih besar dibandingkan generasi sebelumnya. Setidaknya, hal itu yang diamati oleh psikolog anak dan keluarga di Klinik Terpadu Fakultas Psikolog Universitas Indonesia, Anna Surti Ariani, S.Psi., M.Si. Dunia digital secara tidak langsung membuat gen Z hidup dalam algoritme.
 
Seakan-akan semua hal berorientasi pada jumlah like dan follower di media sosial. Peer pressure bukan hanya datang dari lingkaran sosial terdekatnya, tapi juga dari orang yang tak dikenal. Wanita yang akrab dipanggil Nina ini bercerita, ia kerap menemukan klien remajanya memiliki kekhawatiran terhadap apa yang mereka unggah di media sosial. Mereka khawatir jika unggahannya tak akan disukai atau mendapatkan sedikit ‘like’ dari follower-nya.
 
“Anak-anak ini seakan-akan membutuhkan sekali ‘like’. Ada kesan, ketika sedikit mendapatkan ‘like’ untuk aktivitas mereka di media sosial, mereka akan merasa jelek atau buruk. Jika mereka terus bergantung pada jumlah ‘like’ untuk merasa baik-baik saja, maka hal ini adalah ketidakstabilan emosi,” jelas wanita yang akrab dipanggil Nina.
 
Kendati demikian, ia mengingatkan bahwa tak semua gen Z mengalami hal ini, sehingga tak bisa digeneralisasikan.
 
Persoalannya, gen Z memiliki kecenderungan lebih besar untuk berinteraksi melalui teknologi dan media sosial dibandingkan generasi-generasi sebelumnya. “Padahal, kalau kita runut lebih jauh, interaksi melalui media ini bersifat semu, bukan interaksi yang nyata. Bahkan, sering kali mereka berinteraksi dengan orang-orang  yang tidak mereka tahu atau belum tentu benar identitasnya,” kata Nina.
 
Karena banyak menemukan orang-orang yang tidak memberikan identitas asli di media sosial, maka anak-anak berpikir bahwa mereka juga tidak harus menunjukkan personalitas yang sebenarnya. Secara tidak langsung hal ini membuat seseorang tanpa sadar hidup dalam identitas yang semu.
 
“Interaksinya pun jadi semu dan tidak benar-benar ada kehangatan di dalamnya. Persahabatan juga tidak betul-betul terjalin dalam reaksi seperti itu, karena mereka sendiri tidak membuka diri sepenuhnya. Padahal, untuk menjalin hubungan persahabatan dibutuhkan keterbukaan satu sama lain,” tambah Nina, yang merasa bahwa penelitian Cigna menjadi masuk akal.
 
Secara psikologis, hal-hal ini rentan membuat orang lebih depresi. Minimnya kesempatan interaksi secara langsung dan nyata membuat kita tidak bisa merasakan hubungan yang hangat. Padahal, kehangatan interaksi bisa dirasakan dari komunikasi yang terjadi secara langsung.
 
“Dampaknya, depresi dapat membuat anak-anak cenderung menarik diri dari pergaulan.  Mereka juga melihat dirinya buruk, gagal, tidak punya teman, atau ditolak oleh teman,” papar Nina. Berdasarkan penelitian Brigham Young University, Utah, AS, menyamakan perasaan kesepian sama berbahayanya dengan merokok 15 kali dalam sehari, lebih buruk dari mereka yang obesitas dan meningkatkan kemungkinan kematian dini hingga 32 persen.
 
Menurut ulasan jurnal Psychology Today, berdasarkan ragam penelitian, perasaan kesepian memiliki dampak memengaruhi kesehatan jiwa. Terlebih jika hal tersebut dirasakan oleh anak-anak, dapat menimbulkan banyak penyakit karena dapat mengacaukan sistem kekebalan tubuh sehingga berisiko terserang penyakit jantung, depresi, hingga ragam gangguan mental yang berbahaya.
 
“Salah satu kasus terburuk jika anak tersebut mengalami depresi terselubung yang berat adalah timbul usaha untuk bunuh diri,” ujar Nina. (f)

Baca Juga:

Mengenal DBT, Terapi Yang Tengah Dijalani Selena Gomez Saat ini!

Kepedulian Kate Middleton dan Pangeran William Pada Masalah Kesehatan Mental

Lindungi Anak dari Bullying dan Konten Negatif dengan 7 Fitur Instagram Ini
 


Topic

#psikologi, #ksehatanmental, #kesehatanjiwa, #generasiz