
Tahun 2010, Daily Mail memublikasikan penelitian UK Medical Research Council dan University College London terhadap 86.957 keluarga dengan anak-anak usia 0 bulan hingga 12 tahun di Inggris. Hasilnya, 39% ibu dan 21% ayah mengalami depresi dalam menjalani perannya sebagai orang tua, dengan tingkat risiko terbesar ada pada tahun pertama kelahiran bayi mereka.
Di tahun yang sama, Eastern Virginia Medical School di Amerika Serikat juga mengumumkan hasil penelitian mereka. Katanya, satu dari sepuluh ayah baru akan mengalami semacam postpartum depression setelah kelahiran anak mereka. Angka ini dua kali lebih besar dari tingkat depresi umum yang dialami pria (4,8%). Tingkat depresi yang lebih tinggi biasanya dialami pada periode postpartum tiga hingga enam bulan, ketika porsi tidur menurun drastis, kesibukan mengurus anak membuat terisolasi dari lingkaran pertemanan, hingga kekhawatiran berlebih terhadap biaya-biaya berbenturan dengan kebahagiaan dan antusiasme akan kehadiran bayi.
Trihadi, M.Psi, psikolog dari Rumah Hati Klinik Psikologi, juga mengatakan bahwa kasus postnatal depression lebih banyak dialami ibu dibandingkan ayah. "Perbandingannya sekitar 2:1. Tapi, bisa jadi tingkat Paternal Postnatal Depression (PPND) pada ayah lebih kecil karena lebih sedikit pria yang melapor atau mengakuinya dibandingkan ibu. Ekspektasi keluarga dan lingkungan sosial terhadap sosok ayah yang kuat membuatnya gengsi mengakui bahwa dirinya mengalami depresi," jelas Hadi.
Wanita juga lebih rentan mengalami postpartum depression terkait dengan peran gendernya sebagai pengasuh utama anak. Sementara, pria secara tradisional diposisikan sebagai pencari nafkah dan tidak terlalu dituntut berperan dalam mengasuh anak. Pria pun lebih leluasa meninggalkan rumah dan bekerja, bahkan berkumpul bersama teman-temannya atau melakukan hobi. Sedangkan wanita, meski ia bekerja, tanggung jawab yang lebih besar mengasuh anak tetap dipikulnya. “Wanita lebih banyak terpapar tekanan akibat kelahiran anak. Itulah sebabnya, wanita lebih banyak mengalami baby blues atau postpartum depression," ujarnya.
Padahal, menurut Hadi, terlepas dari seberapa besar porsi perannya mengasuh anak langsung, sangatlah wajar jika pria mengalami kesulitan beradaptasi dengan peran barunya sebagai orang tua. "Kehadiran anak merupakan perubahan signifikan dalam hidup. Sangatlah wajar jika seorang ayah mengalami panik, stres, hingga akhirnya depresi. Karena, kehadiran anak, terutama anak pertama, menyebabkan faktor-faktor psikologis maupun fisik mengalami perubahan," ujar Hadi.
Yang perlu dipahami, daddy blues sangatlah berbeda dari PPND. Daddy blues dikategorikan sebagai gangguan ringan yang lazim dialami ayah baru. Biasanya, gangguan ini akan mereda jika ayah baru ini mendapat istirahat yang cukup, berolahraga, atau berkumpul bersama teman-temannya. Namun, tidak dengan PPND. Gejala PPND lebih parah dan berlangsung lebih lama. Istirahat dan olahraga yang cukup, serta berkumpul bersama teman-teman pun tidak menyelesaikan masalah. Jadi, jika ayah mengalami daddy blues lebih dari tiga minggu, kemungkinan besar ia mengalami PPND dan membutuhkan bantuan ekstra.
"Lebih jelasnya lagi, PPND adalah depresi yang dialami pria akibat perubahan-perubahan yang terjadi karena kelahiran bayi, yang melebihi kemampuannya beradaptasi. Jika pada akhirnya atau hanya dalam beberapa minggu saja ia kemudian mampu beradaptasi, maka ia belum mengalami PPND, hanya daddy blues atau merasa tertekan saja," papar Hadi. (EKA JANUWATI)