
Foto: Pixabay
“Saya sering mengingatkan mama jangan sering-sering masak daging ayam di rumah. Ayam itu mengandung hormon, saya takut keluarga saya kena kanker,” ujar Widiawati, seorang desainer grafis yang berkantor di Sudirman, kawasan segitiga emas Jakarta.
Sementara, Galuh, orang ibu rumah tangga dengan dua anak mengaku meski pernah mendengar kabar bahwa daging ayam mengandung hormon, tapi ia cuek. “Habisnya, daging ayam itu enak dan harganya termasuk terjangkau. Saya memilih mengabaikan info itu dan tetap memasak ayam buat keluarga di rumah,” ujarnya, sambil tersenyum.
Louisa, wanita muda yang bekerja sebagai sekretaris juga memilih pasrah saja. “Saya tidak tahu persis kebenaran informasi itu, maka saya tetap mengonsumsi daging ayam,” katanya.
Daging ayam merupakan salah satu sumber protein yang harganya cukup terjangkau masyarakat. Di pasaran Jabodetabek misalnya, harga daging ayam per ekor berkisar antara Rp30.000 – Rp38.000. Seperti yang dikatakan oleh Galuh, faktor harga pula membuatnya memilih ayam sebagai lauk dan sumber protein bagi keluarganya.
Kabar tentang daging ayam mengandung hormon memang sudah meluas di masyarakat. Menurut informasi yang beredar, hormon diberikan selama proses pemeliharaan agar ayam tumbuh cepat sehingga bisa mengurangi ongkos produksi.
Benarkah demikian?
“Hormon sama sekali tidak diperlukan selama proses pemeliharaan untuk ayam pedaging juga petelur,” jelas drh. Lidia Wijayanti dari bagian pemasaran farmasi peternakan PT Agrinusa Jaya Sentosa.
Menurut Lidia, potensi genetik ayam pedaging saat ini sudah sangat cepat tumbuh. Tidak seperti puluhan tahun yang lalu.
Sebagai gambaran, sebelum tahun 1980, pada umur 35 hari berat badan ayam pedaging (broiler) sekitar 1kg. Pada tahun 1980-1990, pada umur yang sama, berat badan ayam mencapai sekitar 1,3 kg. Sedangkan di era 1990-2000, pada umur yang sama tercapai sekitar 1,6 kg. Sekarang ini diusia yang sama, bisa tercapai 2 kg lebih.
“Hal ini dimungkinkan karena adanya pemuliabiakan ternak yang terus dilakukan di breeding yang dilakukan dengan ketat sehingga mendapatkan bibit ayam broiler (pedaging) unggul,” kata Lidia menjelaskan.
Apalagi bibit unggul itu ditambah dengan formulasi pakan ternak yang terus diperbaiki serta perbaikan sistem manajemen pemeliharaan di kandang komersial dari waktu ke waktu.
Suparto, peternak ayam di Lamongan, Jawa Timur mengatakan bahwa tidak pernah ada preparat hormone untuk growth promotor. “Itu hanya isu belaka,” katanya.
Menurut Suparto, yang juga seorang dokter hewan, penyuntikan yang diberikan pada proses pemeliharaan ayam potong maupun ayam petelur adalah suntikan vaksin untuk mencegah penyakit seperti flu burung, tetelo, coryza dan lain sebagainya.
“Hal ini dimungkinkan karena adanya pemuliabiakan ternak yang terus dilakukan di breeding yang dilakukan dengan ketat sehingga mendapatkan bibit ayam broiler (pedaging) unggul,” kata Lidia menjelaskan.
Apalagi bibit unggul itu ditambah dengan formulasi pakan ternak yang terus diperbaiki serta perbaikan sistem manajemen pemeliharaan di kandang komersial dari waktu ke waktu.
Suparto, peternak ayam di Lamongan, Jawa Timur mengatakan bahwa tidak pernah ada preparat hormone untuk growth promotor. “Itu hanya isu belaka,” katanya.
Menurut Suparto, yang juga seorang dokter hewan, penyuntikan yang diberikan pada proses pemeliharaan ayam potong maupun ayam petelur adalah suntikan vaksin untuk mencegah penyakit seperti flu burung, tetelo, coryza dan lain sebagainya.
Lidia menambahkan, pemberian hormon itu sangat tidak ekonomis. Selain karena sudah tidak dibutuhkan, pemberian hormon harus lewat suntikan. “Satu-satunya cara hormon bisa bekerja maksimal adalah dengan suntikan dan tidak mungkin tiap hari menyuntik satu per satu ayam yang dalam satu farm yang bisa mencapai puluhan hingga ratusan ribu ekor,” ujarnya.
Lewat Peraturan Kementrian Pertanian (Permentan) Nomor 14 Tahun 2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan, pemerintah sudah melarang pemberikan hormon baik untuk obat hewan maupun premix (sediaan yang mengandung bahan obat hewan yang ditambahkan sebagai imbuhan pakan (feed additive) maupun pelengkap pakan (feed supplement).
Lewat Peraturan Kementrian Pertanian (Permentan) Nomor 14 Tahun 2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan, pemerintah sudah melarang pemberikan hormon baik untuk obat hewan maupun premix (sediaan yang mengandung bahan obat hewan yang ditambahkan sebagai imbuhan pakan (feed additive) maupun pelengkap pakan (feed supplement).

Pengujian veteriner di laboratorium Balai Besar Veteriner Wates.
Foto: Yos
Penelitian dari Balai Besar Veteriner (BB Vet) Wates, Yogyakarta, instansi pemerintah yang bertanggung jawab untuk melakukan penyidikan dan pengujian veteriner, juga tidak menemukan residu hormon dalam sampel penelitian mereka.
Dari hasil penelitian yang dilakukan instansi yang membawahi wilayah kerja Jawa Tengah dan Jawa Timur tersebut, pada tahun 2016 dengan 1.588 sampel berupa daging ayam, daging sapi, hati sapi dan telur di Demak, Kulonprogo, Jepara, Bantul, Batu dan Malang menemukan, hasil 100 persen negatif residu hormon. Namun, hasil penelitian yang sama menemukan bahwa sampel produk hewan mengandung residu antibiotika, yaitu golongan penisilin, aminoglikosida dan residu tetrasiklin.
"Sejak tahun 2018 ini pemerintah melarang pemberian antibiotika sebagai growth promotor dalam pakan di seluruh Indonesia dan harus diganti dengan natural growth promotor. Meski begitu, sebelum dilarang pun jenis antibiotika yang digunakan sebagai growth promotor juga berbeda preparat dengan antibiotika untuk manusia," jelas Lidia.
Menurut Suparto, peternak seperti dirinya, saat ini menggunakan probiotik dan prebiotik seperti jamu herbal untuk ternak ayamnya. Meski, hasil akhirnya ia akui bisa turun sekitar 10 persen bila dibandingkan sebelumnya. "Hal ini juga yang membuat harga telur dan daging ayam akhir-akhir ini jadi lebih mahal karena produksi memang sedang turun," imbuhnya. (f)
Baca Juga:
5 Resep Wajib Coba Minggu Ini: Ayam Goreng Cabai-Ayam Hainan
5 Langkah Mudah Membuat Ayam Goreng Crispy
Tip Menyimpan Jamur Agar Tidak Busuk
Topic
#dagingayam, #hormon