Fiction
Cerpen: Perempuan di dalam Kolam dengan Sneakers di Kakinya

14 May 2017


 
CAHAYA LAMPU neon berpendar-pendar di permukaan air kolam yang bening. Pukul enam pagi, dengan udara Jakarta sisa hujan deras semalam yang mampu membuatku gemetar membayangkan gigitan air di seluruh kulitku. Keheningan kolam renang di lantai tiga yang terbuka ini tidak memberiku perasaan apa pun. Atau mungkin, itu justru merupakan sebuah perasaan tersendiri. Karena tepat di detik berikutnya, aku pertama kali melihatnya. Perempuan di dalam kolam dengan sneakers yang masih melekat di kakinya.

Aku bukan orang yang percaya pada hantu (lagi pula, adakah hantu yang berenang?). Walau demikian, sengatan tajam di dada, yang menimbulkan efek dingin di seluruh tubuhku secara cepat dan tiba-tiba, membuatku harus berpegangan erat pada permukaan tangga yang terasa licin karena tanganku yang basah. Dengan enggan harus kuakui, perempuan itu membuatku merasa seperti baru saja melihat hantu.

Sedikit demi sedikit, kumasukkan tubuhku ke dalam kolam. Air yang mengepung tubuhku dengan sengatan dingin di setiap pori-pori, mampu mengalihkanku dari rasa sakit yang sedang kurasakan. Dalam diam, kuperhatikan perempuan di ujung kolam. Ia tidak sedang berenang. Ia hanya... mengambang. Wajah dan dagunya terangkat di atas air, sementara tangan dan kakinya terentang. Ia tidak mengenakan baju renang, melainkan celana lebar seperti celana Aladdin dan kaus panjang berwarna gelap. Entah hitam, atau biru gelap. Dan yang paling memaku perhatianku adalah sneakers yang melekat di kakinya.

Baiklah. Mungkin tidak perlu terlalu heran menemukan banyak orang eksentrik di sekitarku. Kulirik baju renang yang kukenakan (kalau memang ini bisa disebut baju renang). Celana kulot hitam dengan kaus lengan panjang longgar hampir selutut dengan warna serupa rainbow cake.

Belakangan ini, sejak menikah dengn Frans setahun yang lalu, aku memang tidak pernah nyaman memakai baju renang yang ketat dan terbuka. Bukan sekali dua kali Tuan Penjaga Kolam dengan matanya yang (sedikit) jalang memperingatkanku untuk mengganti bajuku dengan yang sesuai. Mungkin sesuai dengan pikiran kotormu, Tuan!    

Tapi, sekarang (tepatnya tiga bulan sejak aku menjadi penghuni apartemen ini), di antara kami akhirnya tercapai kesepakatan. Tubuhku bergelambir, sama sekali tidak indah untuk dilihat. Aku berjanji hanya akan datang pagi-pagi sekali, dan tidak boleh lebih dari satu jam menguasai kolamnya. Aku juga harus bertanggung jawab terhadap keselamatan diriku sendiri. Oh iya, dan sedikit makanan dan minuman ringan yang sebaiknya kuletakkan langsung di mejanya.

Mungkin karena itu juga, aku merasa kami sehati. Aku dan perempuan dengan sneakers itu, maksudku.
Kuhampiri perempuan itu tanpa banyak suara. Naluriku sebagai penulis meyakini ia bisa menjadi kisah yang menjual untuk kutawarkan ke majalah wanita yang sudah lama menjadi incaranku. Majalah wanita yang redaktur fiksinya puluhan kali mengirimiku surat penolakan dengan bahasa yang semanis madu.

Tapi, aku bukanlah tipe perempuan yang mudah patah karena penolakan. Sepuluh naskahku tertolak, akan kuhujani dengan puluhan naskah yang baru. Begitu terus, hingga mereka terpaksa mengakui tulisanku pantas untuk majalah mereka. 
 


Topic

#FiksiFemina