
Dok: Unsplash.com
Ada pandangan, seorang anak akan belajar dan meniru apa yang dilakukan orang tuanya, termasuk pilihan hidupnya. Seorang dokter memiliki anak seorang dokter. Seorang pegawai negeri juga memiliki orang tua yang dulunya pegawai negeri. Lalu bagaimana dengan entrepreneur?
“Ada benarnya, misalnya, keluarga Tionghoa yang identik memiliki bisnis, itu bisa jadi terpengaruh karena terbiasa melihat orang tuanya yang menjadi pengusaha,” ujar Yuswohady.
“Sejak kecil saya terbiasa melihat dan membantu ibu menjalani bisnis catering. Sebelum selesai kuliah pun saya terbiasa membuat invoice atau melakukan pitching,” cerita Diajeng Lestari, founder dari HIJup.
Tapi ini bukan sesuat yang mutlak. Lihat saja Mark Zuckerberg, yang menjadi idola banyak entrepreneur muda di bidang startup. Ia anak seorang dokter. “Latar belakang keluarga saya juga bukan pengusaha. Meski bukan berasal dari keluarga pebisnis, saya mendapatkan pelajaran dari keluarganya bahwa hidup itu tergantung pada diri kita. Ini menurut saya modal saya untuk menjadi entrepreneur,” ujar Antonny.
Yoris Sebastian, pendiri OMG Consulting mengingatkan untuk menjadi entrepreneur karena panggilan jiwa, bukan karena sedang tren. “Saya bukan motivator jadi selalu saya bilang bahwa zaman sekarang lebih mudah kalau mau jadi entrepreneur namun perlu banyak sekali yang harus dipersiapkan, dilakukan dan diperjuangkan. Biasa saya pakai kaos dengan tulisan judul lagu dari Coldplay, Nobody said it was easy,” ujar Yoris.
Namun Yoris tak menampik, kalau sedikit banyak ia terinspirasi dari ayahnya yang gagal jadi pengusaha dan kemudian jadi karyawan. “Mungkin ada semacam keinginan untuk membuktikan saya bisa dan karena kisah ayah, saya jadi jauh lebih hati-hati sebelum banting setir jadi entrepreneur,” kata pria yang kini memiliki xx anak ini.
Yang penting diingat, jangan hanya melihat permukaannya saja. Yakinlah, bahwa dibalik kesuksesan para entrepreneur yang diangkat media itu ada cerita panjang sebelum bisnis mereka memberikan hasil yang luar biasa. “Mereka merintis bisnis itu juga setengah mati, tapi yang dilihat di permukaan kan yang indah. Selain itu terlihat cool, anak muda bikin perusahaan startup, bahkan kini bikin startup itu jadi gaya hidup,” ujar Yuswohady, penulis buku Millennials Kill Everything ini.
Meski sepak terjang Anthony Lim sebagai entrepreneur sudah mendapat pengakuan banyak pihak, namun ia tak ingin mengkotak-kotakkan hidup anak, apalagi memaksa sang anak mengikuti jejaknya. “Entrepreneurship adalah tentang bagaimana kita menentukan nasib sendiri dengan cara mencari hal yang kita bagus, jadi ada value ke masyarakat tempat kita berada. Bukan berarti harus bisa mengubah dunia, tapi berdampak lah buat sekecamatan, kek,” ujar Anthony.
“Dengan memberikan value untuk masyarakat, akan ada timbal baliknya. Itu kuncinya, dengan begitu kita akan mengubah nasib kita, keluarga kita, pegwai kita, keluarga pegawai kita, dan lingkungan tempat tinggal kita. Menurut saya itu pola pikir yang harus sudah ada sejak anak-anak. Bahwa hidup itu enggak cuma satu jalur, satu pilihan,” tegas Antonny.
Bagi Antonny, apapun pilihan anaknya nanti akan ia hargai. Kalau anaknya ingin menjadi entrepreneur, mungkin ia akan memberi bantuan dana. “Jika ia ingin menjadi karyawan pun tidak apa-apa. Yang penting ia memiliki intrapreneur, jiwa entrepreneur dalam perusahaan, yang akan membuat performanya menonjol dalam tim,” ujar Antonny.
Soal kebebasan memilih dirasakan Diajeng sebagai warisan orang tuanya yang harus ia teruskan ke anak-anaknya. Seperti dulu ia diberi kebebasan oleh orang tua untuk memilih jalan hidup, ia pun ingin memberikan hal yang sama. Sejak dini, ia dan suami telah menerima pendapat dan menghargai keinginan anak, termasuk soal pilihan sekolah.
“Entrepreneurship itu bagi saya adalah berbuat sesuatu untuk memberi manfaat bagi sebanyak-banyaknya orang. Mungkin anak saya yang berusia lima dan satu tahun masih terlalu kecil untuk mengerti soal itu,” ujar Diajeng.
Rasanya, hal serupa juga menjadi pilihan banyak orang tua masa kini, seperti Yoris yang memberikan kebebasan seluas mungkin kepada putrinya, Deara untuk menjalani apa yang ia sukai. “Saya dan istri saya, Deboy punya prinsip, orang tua membukakan seluas mungkin apa yang anak sukai. Mau jadi karyawan juga banyak yang keren kok, mau jadi entrepeneur juga kami dukung. Dan Deara tidak harus meneruskan perusahaan saya, mungkin Deara hanya jadi komisaris sehingga tahu tentang perusahaan saya. Namun Deara bebas menjalani kehidupan berdasarkan ikigai (tujuan hidup dalam bahasa Jepang) dia sendiri,” kata Yoris. (f)
Baca Juga:
Jabatan CEO Tak Selalu Bisa Diturunkan
Kekuatan Wanita Wirausaha : Memiliki Ambisi dan Tahu Kapan Menjadi Feminin dan Maskulin
3 Tanda Bahwa Anda Tidak Berjiwa Entrepreneur
Topic
#wirausaha, #entrepreneur