
Vero mengangkat bahu. Sudah terlalu banyak laki-laki yang melintas dalam hidupnya untuk sekadar memperhatikan satu laki-laki. Ia segera kembali pada ikannya.
Meiska tak ingin mendesak terlalu jauh. Ia memutuskan lebih baik membantu Vero memasak daripada memikirkan laki-laki yang belum jelas jati dirinya. Ia segera meraih bumbu-bumbu segar. Bukan sekali ini Vero memasak berbagai jenis ikan dengan bumbu woku. Meiska hafal itu dan paham setiap bumbu dan takaran yang biasa dipakai Vero.
Ia menyisihkan seikat kemangi, segenggam cabai merah dan cabai rawit dengan ukuran sama. Diraupnya bawang merah dalam genggaman besar-besar dan sepotong besar jahe. Sesaat matanya menyisir bumbu-bumbu yang lain: batang sereh, bawang prei, buah tomat, dan lemon cui. Memandangi lemon cui yang berwarna kuning segar segera terbit air liurnya.
“Sa (saya) ikut, ya, ehm… biasa… biayanya tong (kita) bagi dua.”
Tujuh tahun hidup bersama membuat kebiasaan makan Meiska berubah. Telah lama ia tergila-gila pada aroma sereh dan pedas cabai di setiap masakan yang disantapnya.
Vero hanya menghitung harga ikan. “Yo… ikannya tujuh puluh lima ribu satu ekor. Bagi dua?”
Meiska mengangguk.
”Tong pu (punya) minyak goreng masih adakah?”
Vero menunduk melihat ke kolong meja. Didapatinya jerigen lima literan yang masih terisi seperempatnya. ”Ada, masih sisa sadikit. Masih cukup. Besok jo (baru) tong beli itu minyak.”
“Meis,” suara yang begitu mereka akrabi memanggilnya. Itu suara sang bos, Bari. “Ko di mana?”
“Ada apa, Kaka (kakak)?” sahut Meiska, dengan suara lantang.
Tak berapa lama muncul si empunya suara. “Ada yang cari ko. Dong (dia) menunggu di kamar.”
Kedua gadis muda itu saling pandang. Heran.
Protes Meiska, “Masih sore… masih terang... kenapa su (sudah) ada yang lapar…?”
“Sudahlah… temui saja.”
Vero menyuruh pergi Meiska dengan matanya. “Biar sa mamasak sendiri. Ko pergi sana. Layani itu tamu.”
Meiska bangkit malas-malasan dan berjalan menuju kamarnya.
“Nona….”
Meiska mengubah diri tepat di saat yang diperlukan. Dengan senyum terkembang, senyum manis penjaja cinta profesional, disambutnya laki-laki gendut yang tengah berbaring santai di kasurnya. “Bapa Gunung… baru tibakah?”
“Yo… Pakai pesawat siang,” balas laki-laki berperut tambun itu, sambil merengkuh Meiska dalam pelukannya.
”Sa rindu. Su lama Bapak tra tengok sa.”
”Yo... kah?”
”Kapan sa bohong?”
Meiska ingin cepat-cepat. Ia segera berbaring di samping si gendut. Tak lama tangannya segera terulur ke arah yang dituju. Dengan gerakan terlatih dibukanya kancing-kancing baju safari pejabat pegunungan itu dan meloloskannya dari kedua tangannya. Setelahnya diraihnya ikat pinggang pria yang telah memeliharanya sejak dua tahun terakhir ini. Dengan tekanan lembut di kedua tombol kunci si gesper terbuka dan tinggal menarik sisanya.
“Kenapa buru-buru… tong bicara-bicara dulukah?”
Bapak Gunung punya kebiasaan yang sangat dihafal Meiska. Mengagumi tubuhnya. Ia suka memandang berlama-lama tubuh gadis muda itu dan menyentuhnya pelan-pelan. Kegiatan ini dilakukannya sepenuh hati dengan ketelitian ekstra, seolah menikmati porselin Cina tempo doeloe.
Meiska bergeming. Rasa lapar dan tatapan terkejut yang menyejukkan dari laki-laki asing di danau barusan telah mengusiknya. “Sa terlalu rindu.”
“Ya... ya... Bapak su dengar tadi,” bisik Bapak Gunung dengan tatapan rindu.
Tak ada yang bisa menahan pesona Meiska. Dalam sekejap pejabat paruh baya itu telah tenggelam dalam pesonanya. Setelahnya, yang bisa dilakukannya hanyalah berjuang memuaskan dirinya sendiri. Meiska sudah siap. Ia sudah terbiasa.
Di saat-saat semacam ini, Meiska selalu ’terbang’ ke rumah nenek moyangnya. Ke haribaan mbah buyutnya, nenek ibunya, yang telah lama berpulang. Meiska ingat benar peristiwanya. Ketika itu pagi, saat si burik, ayamnya, sakit, dan Mbah Buyut terpaksa menyembelihnya. Meiska menghampirinya, ketika Mbah Buyut sedang mengeluarkan dengan hati-hati seluruh jeroan ayam di sudut dapur.
Mbah Buyut mengangkat si burik, mantan si burik, dan menunjukkannya kepada Meiska, “Lihat, Nduk… kita semua seperti ini. Kita punya ini,” jelas wanita sepuh itu sambil mengelus tubuh si ayam, “Ini tubuh.”
Mbah buyut menunjuk dirinya sendiri. ”Ini tubuh juga.”
Meiska menatap mbah buyutnya, mencoba memahami maksudnya. Mbah Buyut menunjuk dirinya dengan telunjuknya yang telah melengkung karena usia. ”Ini juga tubuh. Tubuhmu.”
Setelahnya dimasukkannya tangannya ke dalam perut si ayam dan sekali sentak dikeluarkannya seluruh jeroannya, “Kita juga punya ini. Jeroan… tapi maksud Mbah, jeroan yang tidak kelihatan.”
“Aku juga punya jeroan, Mbah?”
“Tentu. Setiap orang punya.”
“Jeroan yang tidak kelihatan,“ gumam Meiska, terheran-heran sambil mengamati jeroan si burik yang terlihat kemerahan berlumur darah.
Meiska tak mengerti maksudnya. Ia masih terlalu kecil ketika itu. Tapi, seluruh gerak-gerik mbah buyutnya dan sorot mata yang dipancarkannya membuat gadis cilik itu merasa tenang. Teduh. Luar biasa teduh. ”Kamu bisa membuat jeroan-mu marah atau diam sepanjang kamu mau, Nduk.”
Bertahun-tahun telah lewat, Meiska terus menyimpan kenangan itu dalam-dalam. Di saat-saat yang paling tidak disukainya, seperti saat ini, ia memanggil kembali kenangannya dan memutar ulang kata-kata mbah buyutnya, “Kamu bisa membuat jeroan-mu diam. Hening. Kalau kamu mau.”
“Ko (kamu), bau. Sana… mandi lagi, sudah.”
“Aduh… Ver. Nanti dululah. Sa (saya) lapar, eee.”
Meiska tidak peduli. Disendoknya penuh-penuh nasi putih hangat ke dalam piringnya dan diambilnya sepotong besar cakalang woku yang baru selesai dimasak Vero. Perutnya lapar .
“Ko tahu… ada tukang bakso baru. Ganteng.”
Meiska menghentikan kunyahannya.
“Ko su (kamu sudah) kenal?”
Vero menggeleng. “Cuma lihat. Tadi dong (dia) lewat sini.”
Radar ingin tahu Meiska menyala makin nyaring. Ingin ia bertanya apakah laki-laki itu, si tukang bakso, sama dengan laki-laki yang baru dilihatnya di danau. Tapi, Meiska mengurungkan niatnya. Meiska sadar, Vero tak tahu laki-laki itu.
“Ganteng gitu, kalau dia pejabat sudah sa goda, ha…ha...ha….”
Meiska mengernyitkan alis. Sepintas. Ia tak heran dengan komentar sahabatnya. Ia tahu betul, matre adalah sifat hampir seluruh teman seprofesinya.
Meiska menatap lurus-lurus laki-laki muda yang sedang sibuk dengan mangkok-mangkok baksonya. Meiska ingat laki-laki ini. Ingat dengan tatapannya yang teduh. “Ko (kamu) yang di danau tadi siang, to?”
“Maaf aku baru tahu kalau Mbak… teman-teman bilang harus hati-hati ke danau kalau siang.”
Indra pendengaran Meiska bergetar. Laki-laki ini menyebut kata “mbak” dan bukan “nona” atau “ade” (adik) kepadanya. Benar-benar orang baru. Dan dialeknya itu, lho,….Jawaaaaaaaa banget. Tebakan Meiska jitu. “Baru datang, ya? Dari Jawa, ya. Aku yo wong Jowo, lho.”
Anton mendesah. Senang. Bagaimana pun sangat lega rasanya bisa menjumpai teman ‘sekampung halaman’ di tempat sejauh Papua. Matanya mendelik, menunjukkan kelegaan. Gumamnya, “Dari Jawa juga...”
“...Malang. Desaku di sekitar Malang Utara.”
Anton mengangguk-angguk.
“Namaku Meiska.”
Anton merekam namanya dalam diam.
Meiska menatapnya sekali lagi. Ia ingin mendengar laki-laki itu memperkenalkan dirinya sendiri. Tapi laki-laki itu tetap diam. Meiska tak hendak mendesak.
Penulis: Nunuk Y. Kusmiana
Pemenang I Sayembara Mengarang Cerber femina 2009