
Selama ini, kita sering mendengar ungkapan, uang bukanlah segalanya. Uang tidak bisa membeli kebahagiaan. Tapi, selamat datang di dunia nyata. Jawaban tertinggi tentang hal yang paling mereka cemaskan adalah keuangan, yakni sebanyak 63% responden. Kemudian disusul oleh kesehatan (45%), pekerjaan (35%), anak (34%), keluarga (26%), hubungan dengan pasangan (22%), dan hubungan dengan teman (9%).
Apakah jawaban tersebut juga mewakili isi hati Anda? Mungkin urutannya bisa berbeda. Yang jelas, hal-hal itulah yang membuat hati responden tak tenang. Dan, bisa dibilang, bila melihat profil mereka, suara mereka bisa mewakili suara kaum wanita.
Berikut ini sekilas profil mereka. Sebanyak 70% pengisi angket adalah wanita yang berdomisili di wilayah Jabodetabek, sisanya tinggal di kota-kota lain, baik Pulau Jawa maupun luar Jawa. Dari segi usia, separuh di antaranya berusia antara 25-34 tahun. Sebanyak 71% di antaranya menikah, sisanya adalah lajang. Dari yang menikah, mayoritas (92%) punya anak (1-2 orang). Mengenai pekerjaan, 69% responden merupakan pekerja kantoran, 12% adalah ibu rumah tangga, dan 12% merupakan wirausaha.
Lantas, salahkah jika yang muncul adalah jawaban jujur bahwa uang adalah sumber kecemasan? Ini memang sikap yang realistis. Psikolog Tuti Indra Fauziansyah menjelaskan, kondisi sosial saat ini cenderung membuat orang melihat uang bisa menyelesaikan segala persoalan. Untuk bisa survive, ya, harus dengan uang. Jika keuangan terganggu, tentu akan menimbulkan problem-problem lainnya.
Bahkan, menurut Tuti, tren ini bisa dipandang sebagai bentuk kemandirian wanita. Hubungan dengan pasangan bukan lagi menjadi sumber kecemasan. Kejadian seperti perceraian, tidak lagi ditakuti, sejauh seseorang bisa mandiri secara finansial.
“Hal ini menunjukkan, ketergantungan wanita pada pasangan sudah tidak terlalu tinggi, dan yang dianggap tidak pasti dalam kehidupan mereka, ya, keuangan,” ungkap Tuti.
Melihat profil responden, yang mayoritas dari segi usia masih muda, ketakutan soal uang ini bisa dipahami. “Mereka belum pada tahap investasi, belum punya passive income. Apalagi mereka yang punya anak, yang mungkin sebagian besar masih usia SD. Sekolah masih panjang. Masih tiga periode lagi, yang cukup besar biayanya. Ada SMP, SMU, lalu kuliah. Memilih sekolah yang bagus jelas sangat mahal biayanya,” tutur Tuti.
Berhitung soal angka, masih ada cicilan rumah yang harus diselesaikan dengan jangka waktu 10 tahun, cicilan mobil 5 tahun (dan mobil tidak cukup cuma punya satu saja). Hitung saja biaya lainnya, seperti gaji PRT dan babysitter, biaya telepon, BBM, langganan televisi kabel, utang kartu kredit, dan masih banyak lagi tagihan bulanan lainnya. Ini belum termasuk ‘argo’ untuk belanja grocery, baju, dan kebutuhan rumah lainnya.
Kondisi sosial ekonomi itu memang cukup mencemaskan bagi mereka yang belum punya simpanan. Kemampuan untuk sampai pada taraf financial freedom masih dirasa jauh. “Karier di bawah 10 tahun, baru ada di posisi apa, sih,” komentar Tuti.
Uang juga menjadi sarana untuk diterima secara sosial. Lebih jauh, Tuti mencermati gaya hidup yang sedang in. Orang zaman sekarang hidupnya di luar rumah. Praktis, rumah hanya menjadi tempat numpang tidur saja. Lihat saja, di hari kerja, Senin-Jumat, waktu yang panjang habis di kantor, makan siang di mal, malamnya hang out di kafe sembari menunggu kemacetan mereda. Di akhir pekan juga demikian. Bedanya, waktu weekend ke mal bersama anak. Gaya hidup yang semacam ini membutuhkan biaya tinggi.
Betul bahwa tiap orang punya standar masing-masing. Namun, gaya hidup biasanya akan mengikuti berapa pun penghasilan yang dimiliki. Dengan demikian, di semua strata, ketergantungan pada uang sangat tinggi.(f)