ilustrasi: tania.
Jadilah aku pergi berkeliling sentra-sentra barang antik di Jakarta. Ternyata memilih barang antik juga tidak mudah, apalagi seumur-umur baru pertama kali berburu barang antik.
Setelah lelah berkeliling, aku tertarik pada sebuah toko. Letaknya di tengahtengah, sempit dan terjepit. Seorang lelaki tua sedang mengelap meja kayu kecil. Sangat indah. Tingginya sekitar 20 cm dengan pinggiran berukir khas Cina. Kuat sekali kesan antiknya.
Aku menyapanya dan mengatakan mejanya bagus sekali. Lelaki berambut putih itu cuek saja. Menoleh pun tidak. Kalau melihat wajahnya, ia tampak seperti tersenyum, padahal tidak. Hanya tarikan bentuk mulutnya yang seperti tersenyum.
Okelah, aku mengerti. Deal. Aku membawanya pulang. Ketika menuju tempat parkir, sepasang pria wanita bergegas menghampiriku.
Mereka ingin membeli meja unik itu dengan dua kali lipat. Setengah memohon mereka memintaku untuk melepasnya. Katanya mereka sangat butuh meja itu. Wah, jangan-jangan orang-orang ini pemburu barang antik, pikirku. Berarti benda ini berharga banget. Jadi, tepat pilihanku.
Akhirnya, dengan alasan pesanan orang, aku berhasil menolak permintaan mereka. Sampai di rumah, aku minta tolong si Mbok mengangkatnya. Ia mengeluh, katanya dingklik saja, kok, berat. Kemudian kami bersama-sama menaruhnya di pojok ruang tengah yang posisinya dapat terlihat dari ruang tamu.
Si Mbok bertanya lagi mengapa mejanya berbau wangi seperti dupa. Sebenarnya aku agak bingung, lalu aku jelaskan bahwa barang itu dibeli di took orang Tionghoa. Si Mbok baru puas dan tidak berkata-kata lagi. Mungkin karena kecapaian, malam itu aku tidur pulas sekali. Bahkan, kalau si Mbok tidak mengetuk pintu, aku pasti terlambat bangun pagi.
Topic
#fiksi, #femina