Rasanya, baru kemarin ia menemukan senyum itu. Di salah satu sudut kedai kopi yang ramai. Setelah hampir dua bulan setengah berkutat di kesunyian hutan tropis yang lembap, kembali di tengah keramaian terkadang sering membuatnya jengah, hingga sebuah insiden kecil terjadi di sore yang cerah itu.
Bara mengangkat wajah. Menatap Btari nanar. Senyum itu masih tersisa di bibir Btari, walau kini terasa hambar.
“Hei, bagaimana Alaska?” tanya Btari kemudian, mengaduk-aduk milkshake di dalam gelas, membunuh keresahan.
Lagi-lagi Bara terenyak. Tak menyangka Btari akan menanyakan hal itu.
“Kamu bertemu beruang grizzly di sana?”
Bara hanya diam.
“Kata orang matahari terbenam saat musim panas di Alaska seperti permen lolipop di dalam mulut, makin dilihat makin ingin disesap, betul begitu?”
“Kenapa Bara?” Btari tersenyum tawar. Disesapnya milkshake di dalam gelas sesaat, kemudian kembali menatap. “Kamu pikir aku membenci Alaska? Karena telah merenggutmu dari aku?” Kini tawa kecil Btari mulai terdengar.
Bara benar-benar tak suka dengan pembicaraan ini. Dipalingkannya wajahnya. Menatap ke luar jendela. Ia benar-benar tak sanggup. Kata-kata yang baru saja diucapkan Btari terdengar bagai sindiran di telinganya, dan tawa Btari seperti menyempurnakannya.
“Ayolah Bara, ceritakan padaku tentang Alaska!” pinta Btari, seakan tak peduli reaksi Bara. “Izinkan aku ikut menikmati perjalananmu seperti waktu kemarin!” Rahang Bara malah mengeras. Perlahan Btari menyentuhkan jemarinya ke tangan Bara. “Hanya untuk…,” terdengar tarikan napas yang tertahan dari bibir Btari, “…yang terakhir kali,” ucap Btari kemudian.Suaranya parau, melesak dalam sampai ke jiwa.
Hati Bara langsung tersayat. Ditengadahkan kepalanya tinggi-tinggi. Menatap langit-langit kafe dengan perasaan perih. Sedetik kemudian kepala Bara tertunduk jatuh. Tatapannya membeku, tepat ke manik mata Btari yang merapuh. Btari balas menatap. Mata indahnya mengerjap penuh harap.
Btari benar-benar tak peduli. Siang ini, ia justru ingin berkecipak di mata kelam Bara dan tenggelam di dalamnya. Ia sangat merindukan saat-saat romantis itu. Mengembara berdua bersama cerita petualangan Bara, tentang hutan-hutan yang dijelajahinya, alam bebas yang dicumbui, merengkuh dunia lewat mata elangnya, dengan sudut pandangnya memaknai hidup. Bagi Btari, saat itu Bara terlihat sangat gagah sebagai seorang lelaki. Sungguh, ia telah kehilangan saat-saat itu dan ingin menggenggamnya kembali, walau hanya beberapa saat.
Terakhir kali Bara membagi cerita petualangan serunya saat melakukan ekspedisi ke Afrika bagian selatan. Membawakannya oleh-oleh gelang dari jalinan ilalang kering yang dibuatnya sendiri dengan sangat unik. Itu sudah lama sekali. Enam bulan yang lalu. Sebelum Bara kembali melanjutkan ekspedisinya ke Alaska dan baru kembali lagi ke Indonesia kemarin siang. Sudah tiga tahun Bara memproduseri sekaligus menjadi salah satu anggota tim ekspedisi Jelajah Bumi. Sebuah program di salah satu stasiun televisi yang mendokumentasikan dan memaknai arti profesionalisme dalam bertualang. Bagi tim ekspedisi itu, bumi terlalu luas dan berharga untuk didiamkan. Membuat Bara menjadi makhluk paling sulit dihubungi, bahkan di saat ia sangat membutuhkan Bara.
“Ok… ok….” Akhirnya Bara mengalah. Menatap Btari pasrah. Wajah Btari langsung bersinar cerah.
Menemukan kerjap mata indah itu lagi membuat Bara tak sanggup. Ia tak ingin membuat Btari kecewa. Ada kebebasan penuh harap yang ingin direngkuh manik mata itu. Persis, seperti saat pertama kali mereka bertemu di suatu sore, di kedai kopi itu, setahun yang lalu. Setelah permohonan maafnya karena telah menumpahkan latte dibalas dengan senyuman, mata Btari yang cerlang langsung menatap penuh selidik, saat menemukan ransel cokelat yang sedang disandangnya dengan berat masih menyisakan debu dan aroma rumput liar yang segar.
Topic
#FiksiFemina