
Indonesia Womenpreneur Conference 2024. Foto: Dok. IWC 2024
Faktanya, lebih dari 22 juta pelaku bisnis di Indonesia adalah perempuan. Angka ini mengisi lebih dari setengah pelaku UMKM di Indonesia. Sayangnya, 82% UMKM terhambat aksesnya terhadap lembaga keuangan.
Terkait hal tersebut, Poppy Ismalina, Senior Advisor Women's Economic Empowerment UN Women Indonesia, memaparkan penelitiannya bersama Pulse Lab pada tahun 2022 lalu. Hasilnya, perempuan memang hampir mendominasi sektor UMKM Indonesia namun investor masih memiliki keraguan menanamkan modal pada pengusaha perempuan. "Pengusaha perempuan dianggap takut dengan risiko bisnis. Pengusaha laki-laki dianggap memiliki jiwa bisnis yang progresif dan berani ambil risiko," ungkap Poppy.
Padahal jika perempuan para pemilik UMKM ini mendapatkan dukungan lebih besar dan dapat menjalankan bisnisnya dengan dilandasi aspek-aspek sosial dan gender, mereka akan bisa merangkul lebih banyak orang dan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi perempuan untuk berkontribusi pada perekonomian dan maju bersama.
Pesan inilah yang ingin disampaikan dalam sesi Panel 2 Indonesia Womenpreneur Conference (IWC) 2024 yang berlangsung pada 24 Agustus 2024 di Oryza Hall, Gedung Perum Bulog, Jakarta. Chief Brand Officer Akademi Femina, Petty S. Fatimah, memandu panel diskusi tersebut yang berjudul UMKM Naik Kelas: Menuju Bisnis Inklusif dan Responsif Gender yang Tangguh dan Berdaya Saing.
Strategi bangun bisnis di dunia patriarki
Lebih lanjut Poppy menjelaskan, bagi investor, pengusaha perempuan yang sedang hamil atau telah memiliki anak dianggap sebuah risiko bisnis. Tentunya pandangan ini tidak terjadi pada pengusaha laki-laki. Data BPS 2022 juga menunjukkan bahwa ada kesenjangan upah terhadap pekerja perempuan. Hal ini menjadikan sebagian besar perempuan (66%) bekerja di sektor informal.Semua data tersebut menunjukkan adanya marginalisasi perempuan dari dunia bisnis. "Ada fenomena male-dominated world, di mana dunia selalu menganggap laki-laki lebih unggul," kata Poppy.
Demi menghalau tantangan tersebut, UN Women bersama UN Global Compact meluncurkan Women's Empowerment Principal (WEP) pada tahun 2010. Dengan tujuh prinsip, WEP's diharapkan bisa menjadi kerangka kerja yang memadukan bisnis dengan pemberdayaan perempuan. Ketujuh prinsip tersebut:
1/ Kepemimpinan perusahaan tingkat tinggi
2/ Perlakukan semua wanita dan pria secara adil di tempat kerja tanpa diskriminasi
3/ Kesehatan, kesejahteraan dan keselamatan karyawan
4/ Pendidikan dan pelatihan untuk kemajuan karier
5/ Pengembangan perusahaan, rantai pasokan dan praktik pemasaran
6/ Inisiatif dan advokasi komunitas
7/ Pengukuran dan pelaporan
Poppy menganggap ketujuh prinsip ini bukanlah diskriminasi terhadap laki-laki, namun merupakan cara agar perempuan bisa mendapatkan kesempatan yang sama di dunia yang kental dengan budaya patriarki (sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang peran utama) dan misoginis (tendensi merendahkan/tidak menyukai perempuan). "Dengan melakukan ketujuh prinsip tadi, maka kita akan mengantarkan strategi bisnis yang lebih responsif gender," ujar Poppy.

Torajamelo, tak meninggalkan perempuan termarginalkan
Sebenarnya, sudah ada beberapa perempuan yang menerapkan bisnis responsif dan inklusif gender di Indonesia. Dinny Jusuf salah satunya. Bersama Torajamelo, Dinny merangkul para ibu tunggal di Toraja, Sulawesi Selatan, dan membuat bisnis tenun bersama.Mulanya, Dinny hanya berniat pulang kampung ke Toraja setelah tiga tahun mengabdi menjadi Sekretaris Jendral di Komnas Perempuan. Namun setelah melihat banyak perempuan Toraja yang pulang dari perantauan, terpancar sebuah ide bisnis yang sekaligus memberdayakan mereka.
"Saya melihat perempuan di Toraja banyak yang pulang dari Singapura, Malaysia, dan lain-lain, itu membawa bayi di luar nikah dan harus melahirkan di Toraja. Tapi karena mereka perlu uang, mereka tinggalkan bayi mereka bersama kakek-neneknya dan pergi merantau lagi untuk mendapat penghasilan," cerita Dinny soal awal mula gagasannya mendirikan Torajamelo 15 tahun lalu.
Di saat yang sama, Dinny melihat seni tenun yang mulai ditinggalkan penduduk lokal. "Kalau bisa, yang di depan mata dihidupkan kembali sehingga perempuan Toraja jadi punya pilihan lain. Tidak usah cari uang dengan meninggalkan kampung dan menempatkan diri dalam bahaya," kata Dinny.
Tentu saja, yang namanya usaha tidak pernah bisa lepas dari tantangan. Begitu pula Torajamelo; diperlukan pelatihan untuk para penenun agar bisa menyesuaikan dengan selera, kualitas, dan deadline dari pasar. Kesabaran juga menjadi kunci kedua karena bagi orang Toraja, menenun hanya menjadi satu dari banyak kegiatan lainnya.
"Dalam sehari mereka maksimum empat jam menenun, itu pun bukan dalam waktu musim tanam padi, panen, upacara," ujar Dinny saat menjadi pembicara di Panel 2 IWC 2024.
Salam Rancage, dari Bogor sampai Boston
Ada beberapa beberapa alasan bagi perempuan untuk membangun bisnis. Untuk seorang Aling Nur Naluri, Founder Salam Rancage, membangun usaha adalah upaya untuk mencapai kesejahteraan, sambil membuat lapangan pekerjaan, serta meningkatkan pride sesama perempuan. "Kalau boleh memilih, Salam Rancage didirikan dengan alasan untuk ruang bisnis bagi perempuan mengubah dunia," kata Aling menggambarkan pilihannya saat mendirikan Salam Rancage.Setelah 12 tahun merintis bisnis anyaman kertas ini, Salam Rancage membuktikan perempuan juga bisa menjadi pemimpin dan menggerakkan lingkungannya hingga memiliki kehidupan ekonomi yang lebih baik. Salam Rancage menyulap limbah-limbah kertas di Bogor menjadi kerajinan tangan yang kemudian dipasarkan dari dalam hingga ke luar negeri. "Saat ini, pasar kami sudah mencapai Boston, Eropa, Kanada, Jepang, dan sebagainya," ujar Aling.
Bermula dari menggandeng 60 perempuan yang belum memiliki kemampuan menganyam, kini Aling sudah bisa melahirkan perempuan-perempuan penganyam dengan skill tingkat internasional. Salam Rancage juga sudah menciptakan 230 desain yang masuk pasar luar negeri. Walaupun Salam Rancage sudah dianggap sukses dalam kategori usaha yang mendukung Sustainable Development Goals (SDGs) dan mendapatkan bayak penghargaan, Aling mengaku standar usahanya tetaplah menjadi tantangan tersendiri, khususnya produk yang dibuat dengan tangan.
Hal ini kemudian disiasati Aling dengan memberikan pemahaman pada para perajin. "Harus dijelaskan kalau mereka tidak hanya sedang mengembangkan bisnis dan mendapat uang, namun juga membuat perubahan komunitas," ujar Aling.
Satukan pikiran dan cari mitra tepat
Setiap bisnis memiliki cara untuk mempromosikan bisnis yang inklusif gender agar menjangkau lebih banyak pelanggan dan meningkatkan profitabilitas. Salam Rancage bukan hanya membuat bisnis yang hasilnya berupa material, namun juga memiliki sisi pemberdayaan yang berdampak terhadap cara pandang perempuan sebagai entitas yang berharga. "Berkarya itu membuat perempuan jadi lebih tahu potensinya, lebih kompak, dan itulah modal kuat untuk menemukan jati dirinya kembali," kata Aling.Di lain sisi, demi membuat bisnis yang sejalan dengan prinsip kesetaraan gender, Torajamelo mencoba mencari klien yang mengerti tentang prinsip dan filosofi produk mereka. Tak cuma itu, Dinny juga menjadikan Torajamelo tidak hanya sebagai 'ladang cuan', namun juga ruang aman bagi perempuan. "Ada semacam pamali bagi laki-laki masuk ke ruang tenun. Jadi, ini bisa sekaligus menjadi ruang aman bagi perempuan. Kalau ada apa-apa, loncat saja ke ruang tenun," ujar Dinny.
Di tengah maraknya budaya patriarki di dunia bisnis, apakah Sahabat Femina tertarik mencoba membangun bisnis menjadi lebih inklusif dan responsif gender? Atau mungkin tanpa disadari, kalian sebenarnya sudah menjalankan bisnis yang inklusif dan responsif gender. (f)
Baca juga:
APR Fasilitasi Pebisnis Fashion Riau Naik Kelas
Gaya Hidup Refill, Alternatif Mengurangi Sampah Plastik
Jogja Fashion Trend Jadikan Yogyakarta Trendsetter Fashion Etnik
Ghina Athaya
Topic
#IWC2024, #PebisnisPerempuan