
Foto: Pixabay
Untuk mencari tahu apakah ketertarikan seseorang pada cerita sedih akan menumbuhkan rasa berbagi dengan orang lain, mari kita melihat dari sisi psikologis seseorang.
Dalam ilmu psikologi, pada dasarnya emosi manusia terbagi dua, yaitu emosi positif dan emosi negatif. Emosi positif misalnya bahagia, tertawa, senang, sedangkan emosi negatif meliputi sedih, marah, dan takut. Emosi-emosi tersebut membutuhkan pengekspresian.
“Cerita-cerita sedih dan kemanusiaan menjadi salah satu media atau fasilitas untuk pengekspresian emosi negatif,” ungkap Listyo Yuwanto, psikolog dari Universitas Surabaya.
Memang, tidak semua orang lantas bisa dikatakan menyukai atau mencari cerita sedih. Ada banyak faktor yang memengaruhinya. Pertama, Listyo menjelaskan bahwa salah satu yang berpengaruh dalam menentukan kesenangan seseorang pada cerita sedih adalah karakter individu tersebut. Seseorang yang memiliki karakteristik psikologi melankolis
yang didominasi perasaan, umumnya mudah tersentuh dan suka pada cerita-cerita sedih.
Kedua, kondisi emosi juga turut berpengaruh. Individu yang memiliki atau dalam kondisi emosi negatif cenderung akan lebih menyukai cerita-cerita melankolis sebagai ekspresi emosinya. Seseorang yang tengah mengalami kesedihan, ketika menyaksikan cerita-cerita sedih akan memunculkan perasaan atau pikiran bahwa kesedihan yang dimiliki juga dialami orang atau tokoh lain dalam bentuk cerita tersebut.
Ketiga, manusia itu pada dasarnya berusaha menghindari kondisi tidak enak (avoidance). Lewat cerita sedih atau penderitaan yang dialami orang lain, maka individu dapat belajar dari orang lain sebelum mengalami kejadian serupa. Ini kebutuhan untuk belajar dalam pengalaman hidup orang lain.
Keempat, pengalaman psikologis di masa lalu yang sama yang dimiliki seseorang dengan suasana melankolis cerita, akan membuat orang mengenang dan merefleksikan pengalamannya. Dengan demikian, ia dapat lebih menguatkan diri dan mensyukuri apa yang telah dilalui dan lebih waspada agar tidak kembali terjadi.
Efek positifnya, mengonsumsi dan menikmati cerita-cerita sedih dapat menumbuhkan empati terhadap kondisi orang lain yang mengalami kesusahan atau kondisi tidak beruntung. Hal ini tentu saja akan mendorong seseorang untuk lebih peka terhadap lingkungannya.
Adanya kepekaan sosial dan empati dapat mendorong perilaku sosial, seperti kepedulian terhadap orang lain, seperti melakukan aksi sosial.
“Selain itu, lewat cerita tersebut kita juga bisa belajar dari pengalaman orang lain dalam menyelesaikan masalah atau kesulitan yang dihadapi di dalam cerita. Dengan demikian, kita bisa lebih mensyukuri hidup dan tidak melakukan perbandingan sosial dengan kondisi kemapanan orang lain,” ungkap Listyo.
Di sisi lain, seseorang yang gemar mengonsumsi cerita sedih juga memiliki efek negatif yang perlu diperhatikan. Salah satunya adalah kecenderungan melihat dunia sebagai dunia yang kejam, menyedihkan, tidak aman. Pikiran negatif jadi mudah timbul sehingga memunculkan sikap pesimistis dalam hidup dan rasa rendah diri. Mereka juga cenderung jadi mudah terhanyut dalam kondisi sedih.
Seseorang yang dalam kondisi sedih, jika melihat cerita sedih bisa saja membuat kesedihannya makin menjadi-jadi, menyalahkan diri sendiri, depresi, hingga menjadi inspirasi untuk melakukan hal negatif apabila hal tersebut juga muncul dalam cerita yang ia konsumsi.
Dengan demikian, menurut Listyo, anggapan cerita melankolis menimbulkan rasa empati tergantung kembali kepada orangnya. Ada orang-orang yang awalnya tidak memiliki kepekaan sosial atau empati kemudian, ketika mengonsumsi cerita melankolis, mereka disadarkan adanya kenyataan yang seperti itu dan kemudian timbul rasa empatinya.
Baca juga:
Magnet Cerita Sedih di Layar Kaca, Makin Sedih, Makin Dicari
Mengapa Masyarakat Indonesia Gemar Cerita Sedih? Ini Kata Pakar
Namun, ada juga orang-orang yang menikmati cerita melankolis hanya menyukai ceritanya saja atau karena tokoh yang ditampilkan adalah idola mereka. Jadi, yang mereka cari bukan esensi ceritanya. “Nah, yang seperti ini belum tentu akan tergerak empatinya terhadap permasalahan orang lain atau yang terjadi di dalam dunia nyata,” jelasnya.
Listyo menambahkan bahwa kualitas cerita yang ditampilkan, apabila dikemas dengan menarik disertai dengan wording dan gambar visual yang mendukung, cenderung akan menimbulkan rasa empati. Selain itu, cerita yang mengangkat kasus nyata sehari-hari akan lebih mudah menyentuh rasa empati.
“Yang perlu disadari adalah bahwa rasa empati sebenarnya bisa diolah untuk melakukan sesuatu yang lebih besar. Seseorang yang memiliki rasa empati, disertai dengan nilai personal benevolence dan universalism, maka ia akan menjadi agen perubahan dalam masyarakat,” kata Listyo.
Debby menambahkan, memang tidak bisa kemudian dihubungkan bahwa orang yang menyukai kisah-kisah yang mengharukan, setelah membaca atau menonton sebuah cerita bertema kemanusiaan misalnya, akan melakukan suatu gerakan nyata.
Namun, Debby melihat, masyarakat kita memiliki value yang tinggi terkait tolong-menolong. Nilai-nilai ini diturunkan dari generasi ke generasi, sehingga dalam masyarakat kita menolong orang lain sudah menjadi kewajiban.
“Potensi kita untuk melakukan kebaikan, itu besar sekali. Ini sudah menjadi budaya positif kita yang potensial,” tegasnya. Suksesnya platform crowdfunding seperti kitabisa.com menjadi bukti besarnya nilai tolong-menolong orang Indonesia.
Debby menekankan, yang perlu diwaspadai adalah ketika sensitivitas masyarakat untuk kemanusiaan ini kemudian disalahgunakan oleh oknum. Misalnya, menggalangkan dana tidak 100 persen untuk orang yang membutuhkan. Seperti baru-baru ini terjadi kasus penggalangan dana untuk korban amuk massa dan pembakaran yang terjadi di Bekasi, ternyata uang yang terkumpul tidak semuanya diberikan.
“Dalam hal ini, pemerintah dan masyarakat harus memiliki mekanisme kontrol terhadap aksi-aksi ini, sehingga kegiatan kepedulian ini bisa tepat sasaran dan memberikan impact yang positif bagi masyarakat,” ungkapnya. (f)
Faunda Liswijayanti
Topic
#psikologi, #ceritasedih, #film, #iklan