
Foto: Fic
Bulan puasa di Indonesia selalu disambut meriah. Kemeriahan ini bahkan sudah dimulai sebelum puasa. Misalnya, ada perayaan nisfu sya’ban, dan di Jawa ada tradisi nyadran serta nyekar. Kemeriahan ini makin nyata saat Idul Fitri atau Lebaran. Membeli baju baru, memasak menu yang lebih istimewa, bahkan rela macet berjam-jam untuk pulang kampung. “Di banyak negara Arab, bulan yang meriah seperti ini bukan di bulan puasa, melainkan di Lebaran haji,” ujar Budi Munawar Rachman, Direktur Pusat Studi Islam Paramadina.
Di bulan Ramadan ini orang lebih ekspresif untuk menunjukkan diri mengamalkan ajaran-ajaran Islam. Masjid-masjid –di ibu kota maupun di pelosok desa-- menjadi ramai dan disibukkan oleh berbagai aktivitas. Berbagai cara dilakukan untuk mengekspresikan kegembiraan menjalankan ibadah. Mulai dari hal-hal yang bersifat religius, seperti puasa, memperbanyak salat, membaca Alquran, juga masuk ke dimensi sosial. Misalnya, ramai-ramai bersedekah, berinfak, sampai bersilaturahmi. Uniknya lagi, fenomena ini seperti menjadi siklus yang terus berulang tiap tahunnya.
Ada pula satu ibadah yang amat jarang dilakukan, tapi cukup tinggi peminatnya di bulan puasa, yakni iktikaf. Secara bahasa, iktikaf artinya berdiam di masjid untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Beberapa masjid di Jakarta yang kerap menjadi pusat ‘keramaian’ iktikaf misalnya Masjid Istiqlal di kawasan Monas, Masjid At-Tin di kawasan Taman Mini Indonesia Indah, Masjid Baitul Ihsan BI di kompleks Bank Indonesia, Jakarta Pusat, Masjid Pondok Indah di Jakarta Selatan, ataupun di Masjid Agung Al-Azhar di kompleks sekolah Al Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Pusat.
Fenomena ini memang didorong oleh kewajiban dalam Islam di bulan Ramadan, yaitu berpuasa dan membayar zakat. Kita pun dianjurkan untuk melakukan berbagai ibadah yang disunahkan. Terlepas dari kewajiban dan sunah agama, dari sudut antropologi, Budi menilai fenomena ini juga sangat penting untuk menjaga kontinuitas agama, dalam hal ini agama Islam. Menurut Budi, fenomena ini membantu agar spirit Islam terus menyala dan bertahan di dalam masyarakatnya.
Mendadak jadi alim di bulan puasa? “Tidak apa-apa. Lebih bagus daripada tidak sama sekali. Apalagi menjalankan berbagai tradisi dan ritual itu bisa menjauhkan segala hal yang buruk, seperti menyakiti orang lain, menggosipkan orang, sampai tindak kekerasan. Semuanya seperti ada rem. Lumayan kan, ada rem meski hanya 1 bulan dalam setahun,” Budi menilai. Ia menambahkan, “Bulan puasa ini pun memberikan waktu bagi kita selama sebulan penuh mengisi diri secara spiritual, supaya kita bisa menemukan fitrah kita kembali." (f)
Yuniarti Tanjung
Topic
#puasadanlebaran