Foto: Shutterstock
Dalam masyarakat yang masih patriarki, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah hal yang dianggap tabu untuk diungkapkan. Sebagaimana yang terungkap dalam ceramah aktris dan pendakwah, Oki Setiana Dewi, yang video cuplikan ceramahnya ia unggah di akun TikToknya, Rabu, 2 Februari 2022. Ceramah Oki ini menjadi viral dan ramai dikecam karena konteks KDRT yang terjadi disepadankan Oki dengan aib yang tidak boleh diungkapkan seorang istri kepada siapa pun, termasuk orang tua sendiri.
Oki mengisahkan seorang istri yang baru dipukul suami di wajah. Tak lama, kedua orang tua si istri datang mengetuk rumah. Di depan orang tua, si istri menutupi tindak KDRT sebagai wujud ketaatannya kepada suami, dan usahanya menutup aib. Nama Oki sempat menduduki trending di Twitter, kontroversi pun menyeruak. Sebagian besar mengecam karena dianggap menormalkan tindak KDRT. Yang mendukung? Ada juga, bukan membenarkan normalisasi KDRT, tapi lebih karena berusaha memahami poin yang disampaikan Oki bahwa menutup aib itu memang tidakan yang terpuji.
KDRT Bukan Aib
Ada bagusnya Oki mengangkat isu KDRT ini sehingga isu ini kembali menjadi pembicaraan di mana-mana. Akui saja, contoh yang dipaparkan Oki memang banyak terjadi kok di masyarakat kita. Bukan hanya terjadi di Jeddah (seperti dalam cerita Oki). Dalam catatan tahunan Komnas Perempuan, data tahun 2020, terjadi 299.991 kasus kekerasan terhadap perempuan, sebanyak 17,8 persen di antaranya merupakan KDRT. Angka ini terbilang kecil karena ada jauh lebih banyak lagi kejadian yang tidak terlaporkan. KDRT dipandang sebagai masalah personal yang tabu untuk diungkapkan. Dan, seperti yang tersirat dari kata Oki, istri yang taat tidak akan mengumbar keburukan suami. Belakangan, Oki mengakui kesalahannya dan meminta maaf secara terbuka. Video ceramahnya pun sudah dihapus dari akun TikToknya.
KDRT senyatanya sangat kompleks. Banyak alasan kenapa korban enggan untuk melapor. Selain dianggap aib bagi lingkungan sekitar dan keluarga besar, alasan finansial, faktor anak, budaya, bisa juga karena faktor psikologis korban.
Kita masih perlu lebih banyak mendorong keterbukaan dalam membicarakan KDRT ini. Dalam relasi yang tidak setara, korban perlu mendapatkan support dari orang-orang terdekatnya, untuk memiliki keberanian agar berani mengungkapkan penderitaan fisik maupun mental yang dialaminya. Tidak sedikit korban yang beranggapan, “Mungkin sudah takdirnya harus begini.”
KDRT dalam Perspektif Islam
Sering disebutkan, dalam kitab suci ada ayat yang membolehkan seorang suami memukul istri yang nusyuz. Hal ini tertera dalam QS. An-Nisa, 4: 34. Nusyuz artinya istri yang membangkang terhadap suami karena perasaan lebih tinggi. Pemahaman ayat ini kerap disalahartikan. Tokoh agama Quraish Shihab, dalam video yang diunggah di Instagram Story Najwa Shihab, menjelaskan, "Nabi yang menjelaskan, 'jangan pukul sampai mencederai, jangan pukul wajah, jangan sampai terjadi penganiayaan," kata Quraish Shihab, dikutip pada Jumat (4/2).
Dalam salah satu video ceramah Gus Baha, ulama NU dari Rembang, juga mengatakan, memaknai kata dalam bahasa Arab itu kadang membingungkan. Misalnya, kata ‘maka pukullah istrimu’, buat orang yang tidak bingung, pasti diartikan secara utuh begitu saja. “Kekeliruan dimulai dari orang-orang yang tidak bingung. Karena ilmunya nggak cukup, akhirnya nggak bingung. Bingung itu penting, tidak ada orang alim kecuali dari bingung. Orang alim tidak bisa pede. Referensinya banyak. Kemungkinannya banyak.” Gus Baha mengajak kita untuk selalu bersikap kritis dan merenungkan ulang, agar tidak secara gegabah dalam membawa-bawa dalil kitab suci untuk tindakan yang bertentangan dengan akhlakul karimah.
Hal senada juga diungkapkan oleh Dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Faqih Abdul Qodir, dalam tulisannya di Mubadalah.id. Ia mengatakan, pemukulan bukan bagian dari ajaran Islam dan bukan teladan Nabi Muhammad. “Merujuk beberapa tafsir, seperti Marah Labid Syekh Nawawi Banten, ayat ini berbicara tentang tujuan perbaikan relasi suami istri dengan tahapan-tahapan yang sangat ketat, diawali dengan nasihat baik, tindakan pisah sementara, baru boleh memukul. Itupun harus terukur. Masalahnya, banyak laki-laki yang sudah tidak lagi bisa mengukur dan mengendalikan diri. Sehingga, memukul tidak lagi untuk memperbaiki, malah jadi ajang pelampiasan emosi dan kemarahan. Tidak lagi terukur dan tidak lagi sesuai dengan anjuran al-Qur’an,” tulisnya.
Perlindungan Hukum Korban KDRT
Di berbagai negara, KDRT dianggap sebagai perbuatan pidana. Bagaimana dengan di Indonesia? Sejak 2004, aturan tentang KDRT telah diatur dalam UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Aturan ini menjadi payung hukum bagi siapa pun yang mengalami KDRT. Tindakan apa saja yang bisa dipidanakan? Pasal 1 UU Penghapusan KDRT (PKDRT) mendefenisikan KDRT sebagai perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Bentuk-bentuk KDRT yang tertuang di UU PKDRT ini, antara lain, meliputi kekerasan fisik (Pasal 6), kekerasan psikis (Pasal 7), kekerasan seksual (Pasal 8), dan penelantaran rumah tangga (Pasal 9).
Kekerasan dalam rumah tangga -dalam bentuk apa pun- adalah tetap kekerasan. Setiap orang punya hak setara untuk hidup bebas dari kekerasan. (f)
Baca Juga:
Memasuki 2022, Presiden Dorong Percepatan Pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual
Beri Dukungan Pada Korban Kekerasan Seksual, Ini Caranya
Kontroversi Permendikbud Ristek 30/2021, Tuai Pro dan Kontra
Topic
#KDRT, #Hukum