Trending Topic
Kisah Suram Pendidikan Anak Perempuan Afghanistan

2 Sep 2021


Foto: Shutterstock


“Kami sangat terkejut saat Taliban menguasai Afghanistan. Saya sangat khawatir pada perempuan, minoritas dan pembela hak asasi manusia. Kekuatan global, regional dan lokal harus menyerukan gencatan senjata segera, memberikan bantuan kemanusiaan yang mendesak dan melindungi pengungsi dan warga sipil,” tulis Malala Yousafzai, pemenang Hadiah Nobel itu di akun Twitternya sesaat Afghanistan jatuh ke tangan Taliban.

Seperti Malala, dunia pun terkejut dan cemas setelah pecah berita bahwa Taliban berhasil menguasai Afghanistan setelah kelompok bersenjata ini memasuki kota Kabul dan membuat Presiden Ashraf Ghani melarikan diri pada 15 Agustus 2021 lalu. Istana yang kosong pun segera diambil alih. Ashraf Ghani lewat akun facebook menyatakan bahwa Taliban menang perang.
 
Wanita Kembali Dirumahkan?
Taliban berhasil menguasai Afghanistan setelah melakukan operasi kilat selama 10 hari dan merebut kota demi kota. Kembalinya kekuasaan Taliban ini tepat 20 tahun setelah mereka diusir ketika pasukan Amerika Serikat melakukan invasi pasca tragedi 9/11. Dan kini, setelah Presiden Joe Biden menarik mundur pasukan Amerika Serikat dan percaya bahwa militer Afghanistan akan mampu menahan Taliban, faktanya Afghanistan takluk. 
 
Tweet Malala pun segera menyadarkan akan nasib perempuan, khususnya anak-anak perempuan akan pemenuhan hak-hak hidup mereka. Malala, gadis Pakistan ini adalah survivor kekejaman Taliban yang menentang anak-anak perempuan mendapatkan pendidikan. Dan seperti pada setiap esklalasi politik, peperangan,  bencana alam di suatu negara, wanita dan anak-anak selalu menjadi korban pertama. 
Pada 9 Oktober 2012, hari sudah sore ketika Malala selesai menempuh ujian di sekolahnya yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah. Karena namanya saat itu sudah mulai diperbincangkan dan dianggap sebagai ikon keberanian bersuara, ibunya melarang Malala jalan kaki dan menyuruhnya naik bus saja demi keamanan. 

Di tengah jalan, bus  yang ditumpanginya tiba-tiba dihentikan dua penembak Taliban, yang kemudian masuk ke dalam bus dan memberondong Malala dengan peluru. Kepala, leher serta bahu gadis yang saat itu berusia 15 tahun terluka parah. Malala menjadi target karena sejak tahun 2008, pemimpin Taliban setempat, Mullah Fazlullah, mengeluarkan peringatan bahwa semua pendidikan perempuan harus dihentikan atau yang melanggar akan menanggung akibatnya. 

Tubuh penuh luka Malala diterbangkan ke rumah sakit militer di Peshawar untuk menjalani operasi. Lukanya yang parah membuat ia dikirim ke rumah sakit di Ibukota Islamabad untuk menjalani operasi kepala dengan membuang sebagian dari tulang tengkoraknya. Pada 15 Oktober 2012 ia dibawa ke Inggris untuk perawatan dan rehabilitasi lebih lanjut. Gadis 15 tahun itu benar-benar berada dalam situasi antara hidup dan mati, hanya karena keinginannya bersekolah.
 
Dengan semua kejadian mengerikan yang ia alami, Malala menjadi ikon global untuk pemenuhan hak-hak anak perempuan, terutama dalam pendidikan. Gadis kelahiran Swat, lembah yang indah hingga dijuluki Swiss-nya Pakistan pada tahun 1997 ini kini sudah bergelar sarjana dari Universitas Oxford jurusan Filsafat, Politik dan Ekonomi. Ia juga peraih hadiah Nobel Perdamaian termuda, dua tahun setelah penembakan itu tepatnya pada tahun 2014.
 
malala yousafzai
Sosok Malala Yousafzai dulu dan sekarang. 
Foto: Dok. Instagram @malalafund

Taruhan Nyawa

Meski akhirnya Malala berkesempatan mengecap pendidikan setinggi-tingginya, di universitas yang merupakan universitas tertua di negara-negara berbahasa Inggris, tentu tak seorang pun ingin bisa meraih pendidikan dengan risiko kehilangan nyawa. Namun, inilah fakta yang terjadi di Afghanistan, juga kawasan-kawasan lain yang tengah berada dalam kondisi perang.

Konflik senjata selalu memakan korban, terutama perempuan dan anak-anak. Seperti dilaporkan Al Jazeera (16/8/2121), ketika Taliban pada awal Juli lalu merebut Kandahar dari pemerintah resmi Afghanistan, mereka memasuki kantor Bank Azizi dan memerintahkan pegawai perempuan untuk pulang. Bahkan orang-orang bersenjata itu ikut bersama mereka sampai rumah masing-masing dan memerintahkan para pegawai perempuan itu untuk tidak lagi kembali ngantor. Sebagai gantinya, anggota keluarga laki-laki mereka bisa menggantikan posisi mereka di kantor. 

Al Jazeera juga menuliskan ketika Taliban berkuasa pada tahun 1996 - 2001, perempuan memang mendapat tekanan luar biasa. Mereka tidak diperbolehkan bekerja, anak perempuan dilarang sekolah, dipaksa menikah, diwajibkan mengenakan burqa untuk menutup wajah, dan tidak diperkenankan keluar rumah tanpa didampingi laki-laki yang masih muhrim. Berani melawan? Ada hukuman berat, seperti dicambuk dan dipermalukan. 

“Sungguh aneh tidak diizinkan bekerja, tapi inilah yang terjadi sekarang. Saya belajar sendiri cara mengoperasikan komputer dan bahasa Inggris, tetapi sekarang saya harus mencari tempat bekerja yang pegawainya wanita,” ujar Noor Khatera (43), seorang karyawan di Bank Azizi seperti dikutip Al Jazeera. Ini juga menjadi tanda bahwa hak-hak dasar yang telah dimiliki wanita Afghanistan sejak 20 tahun lalu kini mulai lepas satu persatu dari tangan. 


Baca Selanjutnya: Hanya Perlu 1 Anak Perempuan!


Topic

#anak, #pendidikan, #internasional