
Seperti tahun-tahun sebelumnya, festival film yang sudah berusia 69 tahun ini selalu meninggalkan rangkaian kisah menarik. Tahun ini, film-film pendek karya sineas muda Indonesia cukup mencuri perhatian. Menurut pengamat film Indonesia, Yan Wijaya, film pendek menarik untuk ditonton karena menawarkan sudut pandang generasi muda yang unik dan umumnya idealis.
Seperti Ratih Citrahmani lewat film pendek berjudul Sudra. Film berdurasi 13 menit ini mengangkat pergulatan seseorang bernama Sudra yang bertahan hidup dengan mengumpulkan sampah di lingkungan tercemar untuk dijual dan berhadapan dengan preman. Namun, kehidupan yang berat itu tidak melunturkan optimisme Sudra.
Masih di Short Film Corner, sutradara Narindro Aryo Hutomo hadir dengan film Guna-Guna (Black Magic). Sutradara kelahiran 5 Oktober 1993 ini mengedepankan sebuah kisah fiksi tentang ilmu gaib. Selain mereka, sutradara Tamara Shogaolu turut hadir dengan film Dian. Film berdurasi 20 menit itu menuturkan tentang seorang wanita yang merasa terjebak dalam ekspektasi dan pernikahan di sebuah desa di Indonesia.
Salah satu yang cukup mendapat perhatian adalah film Prenjak (In The Year of Monkey). Film ini ikut berkompetisi di 55th La Semaine de la Critique Cannes Film Festival. Prenjak dibuat oleh sutradara muda asal Yogyakarta, Wregas Bhanuteja. Film berdurasi 12 menit 40 detik ini terinspirasi oleh kehidupan nyata tahun ‘80-an di Yogyakarta. Saat itu, para wanita penjual korek api di pinggir jalan memberikan akses kepada pembeli untuk melihat bagian privasi tubuh mereka. Sebuah kejutan yang membanggakan, film ini berhasil membawa predikat sebagai pemenang dalam ajang tersebut. Hal ini adalah peristiwa bersejarah, karena untuk pertama kalinya sutradara asal Indonesia memenangkan ajang La Semaine de la Critique Cannes Film Festival.
Kekayaan budaya Timur dan kondisi sosial masyarakat di negara berkembang menjadi jurus utama bagi sineas Indonesia untuk menembus pasar perfilman dunia. “Sineas muda Indonesia cerdas memotret kejadian atau isu sehari-hari menjadi sesuatu yang memiliki nilai dan makna lebih. Di Indonesia mungkin dianggap biasa saja atau bahkan aneh, tapi hal itu sangat menarik bagi penonton di Eropa,” ujar Yan. Ia menambahkan, bukan tidak mungkin film-film pendek karya Indonesia dapat mengulang kesuksesan film Jaka Sembung (The Warriors) yang disiarkan di televisi-televisi di Eropa pada tahun 1990-an. (f)
Topic
#FestivalFilmCannes2016