
Foto: Pixabay
Karena itu, agar tidak terjadi pergesekan yang makin tinggi antara minoritas dan mayoritas kuncinya adalah bagaimana pemerintah dan masyarakat mengontrol dan mengelola perbedaan yang ada.
Baca juga:
Belajar Berbeda, Beranikah Anda Bertukar Tempat dengan Kaum Minoritas?
Benarkah Agama Jadi Akar Masalah Utama Gesekan Minoritas VS Mayoritas?
Di Amerika Serikat misalnya, hukum yang melindungi kaum minoritas sudah bisa ditegakkan. Di Indonesia, memang sudah banyak langkah yang dilakukan baik pemerintah, LSM maupun lembaga pendidikan, dalam upaya mengedukasi pemahaman masyarakat tentang adanya perbedaan identitas.
Berbagai dialog antara agama dan etnis, menciptakan pemerataan, hingga upaya pembangunan untuk mengatasi kesenjangan dan memberikan lapangan pekerjaan sudah diupayakan oleh pemerintah.
Namun, upaya tersebut, menurut Dr. Arie Sujito, sosiolog dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada, masih belum berhasil maksimal.
“Selama ini antara masalah dan upaya untuk mengatasinya tidak signifikan, sehingga potensi munculnya gesekan antarindentitas yang berbeda mudah muncul. Yang merisaukan belakangan ini adalah ketika elit politik atau elit ekonomi menggunakan isu ‘panas’ ini untuk tujuan tertentu,” ungkap Arie.
Ketika Presiden Joko Widodo awal Mei lalu menyampaikan pidato tentang perlindungan terhadap golongan minoritas, bukan berarti hal ini menyuarakan ketidakadilan. Bahwa seolah-olah negara hanya peduli pada minoritas dan mengabaikan mayoritas. Negara demokrasi memang memberikan hak lebih kepada suara terbanyak, tetapi bukan berarti menghilangkan hak asasi kelompok kecil.
Tidak ada hak khusus mayoritas atau minoritas, semua punya hak dan kewajiban yang sama. Sekali lagi Arie mengingatkan bahwa dikotomi mayoritas-minoritas seharusnya tidak perlu ada. Karena hari ini seseorang menjadi bagian mayoritas, besok bisa saja ia pindah ke tempat berbeda dan jadi minoritas. Kuncinya, tiap individu harus membuka diri dan tidak eksklusif.
“Caranya adalah membaur, membuka jembatan untuk bersama, dan menciptakan relasi yang cair. Minoritas jangan menebalkan diri dan lebih membuka diri, untuk itu perlu seni pendekatan. Sedangkan mayoritas harus berinisiatif untuk bisa menerima dengan tangan terbuka tanpa prasangka,” ujar Arie.
Dwi merasakan bagaimana hidup sebagai minoritas memberikan banyak keuntungan.
“Pengalaman saya justru membuat mereka ingin mengenalkan budaya kita. Saya pun berusaha menjadi diri sendiri, berpikiran terbuka. Bersedia menjelaskan dengan senang hati dan sabar, bila ada teman atau orang asing yang mau berkenalan dan bertanya soal jilbab, Islam, atau Indonesia,” kata Dwi.
Sementara, pengalaman Farhana–siswi Indonesia yang sekolah di Palermo, Italia-- tentang pengalamannya menjadi minoritas (ia seorang muslim), tinggal di rumah keluarga Katolik selama satu tahun, telah menginspirasi banyak orang, hingga menjadi viral di jejaring sosial, Line.
Farhana menulis, “Kaum mayoritas sering kali beranggapan bahwa suatu atribut darinya adalah sesuatu yang umum, lalu ‘yang minoritas bisa menyesuaikan’. Mungkin Anda belum pernah merasakan jika situasinya dibalik, mungkin juga Anda tidak peduli.”
Setelah satu tahun hidup sebagai orang yang dianggap ‘berbeda’, saat bersekolah di Italia dan tinggal bersama keluarga Katolik, membuat dirinya mengerti betapa hidup sebagai kaum minoritas jauh lebih sulit dibandingkan sebagai mayoritas.
Lewat tulisannya yang menjadi viral di media sosial Line, ia ingin berbagi tentang toleransi, bahwa ada lebih banyak persamaan dibanding perbedaan di antara satu manusia dengan yang lain. (f)
Baca juga:
Mengapa Masyarakat Kita Mudah Mengalami Konfik SARA?
Mencari Akar Pemicu Sikap Intoleran di Indonesia
Mengajarkan Toleransi pada Anak
Faunda Liswijayanti
Topic
#intoleransi, #toleransi