Trending Topic
Hari Kartini 2017: Kolaborasi untuk Membangun Wanita dan Menggandeng Teknologi

23 Apr 2017


Foto: NJL
 
Usia Kartini baru 25 tahun saat ia harus kembali menghadap Sang Pencipta. Namun, buah pemikiran, karya, dan impiannya terus bergulir dari masa ke masa. Wanita kelahiran Jepara, 21 April 1879 ini berhasil membobol tembok feodalisme kolot yang membatasi ruang pemikiran dan gerak wanita.
 
Memperingati Hari Kartini, pada Jumat (21/4), Perkumpulan Alumni Eisenhower Fellowship, Rappler, GoWork Coworking Space dan Google Indonesia menggelar acara jejaring pemimpin wanita bertajuk "Integrasi Wanita dan Teknologi Untuk Indonesia Yang Lebih Sejahtera".
 
Acara yang berlangsung cair dan hangat dalam format talk show yang dipandu oleh Pemimpin Redaksi Rappler Uni Lubis ini mengangkat beberapa isu, mulai dari pentingnya inklusi keuangan yang memberikan akses permodalan bagi para wanita pengusaha, belenggu budaya, hingga peran teknologi dalam memudahkan ruang gerak wanita untuk menjalani perannya di dunia profesional dan domestik.
 
Membangun Wanita
Banyak pencapaian telah dilakukan wanita Indonesia seabad lebih sepeninggal Kartini. Wanita bahkan telah eksis di bidang profesional yang menjadi dominasi pria. Hakim Militer Utama Laksma TNI Dr. Sinoeng Hardjanti, S.H., M.Hum, adalah salah satu contohnya. Pengadilan Militer Utama memiliki hierarki di atas Pengadilan Militer Tinggi, yang bertugas memeriksa dan memutus pada tingkat banding perkara pidana dan sengketa tata usaha militer.
 
“Baru 19 dari 147 hakim di pengadilan militer adalah wanita. Empat di antaranya adalah Ketua Pengadilan, dan telah memegang sertifikasi ISO,” ungkap Sinoeng Hardjanti, bangga. Wanita yang pernah mengawal proses peradilan kasus Trisakti ini juga terus mendorong agar lebih banyak wanita mengikuti jejaknya. “Namun, hingga saat ini belum ada wanita yang menjadi hakim agung di Indonesia. Prosesnya sangat sulit,” ujar wanita yang bercita-cita ingin menjajal dan menembus sulitnya proses rekrutmen berlapis menjadi Hakim Agung.
 

Foto: NJL
 

Selain Sinoeng Hardjanti, diskusi ini juga kedatangan wanita-wanita hebat dari TNI lainnya, beberapa di antaranya adalah penerbang, penembak tepat sekaligus wanita pertama Indonesia yang memegang posisi operator taktik counter terrorism, dan nahkoda wanita pertama di kesatuan polisi air Indonesia.


Foto: NJL
 
Pembicara lainnya, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi merasa bangga, bahwa meski pertumbuhannya masih rendah, jumlah diplomat wanita lebih dari 35%. Sementara di generasi Retno, proporsi wanita hanya 10-15%. Namun, dalam 10 tahun ke belakang, rekrutmen diplomat sudah mencapai proporsi 50:50 untuk wanita dan pria. “Hanya, untuk masalah pengambilan keputusan, peran diplomat wanita masih di bawah 20% saja,” ungkap Retno.
 
Bagi Retno, wanita tidak selalu dihadapkan dengan situasi memilih antara karier atau keluarga. “Semuanya bisa dijalani, tidak harus ada yang dipilih untuk didahulukan,” ujar Retno. Kuncinya adalah kerja tim yang baik, dan hal ini telah dibangunnya bersama sang suami, sejak tujuh tahun mereka berpacaran. Lagipula, saat seorang wanita diberi kuasa, maka secara alami, ia akan menanamkan nilai-nilai kebaikan yang bermanfaat bagi bangsa.  
 
Bagaimanapun, wanita hendaknya tidak mengambil kompromi soal kualitas performa kerja. “Saya bukan orang yang pintar. Modal saya hanya rajin dan terus belajar. Sangat penting bagi kita untuk tahu kelemahan dan kekuatan kita,” lanjut Retno. Menurutnya, salah satu kekuatan terbesar wanita adalah daya tahan tinggi. “Daya tahan kita lebih panjang. Pelan, tapi maju terus sampai tujuan,” tandasnya.
 
Namun, di balik segala pencapaian yang membanggakan ini masih ada sisa-sisa budaya lama yang menghambat pergerakan wanita Indonesia. Seperti yang dikeluhkan oleh Ketua Umum Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) Suryani Sidik Motik. “Ada yang tidak adil saat kita berbicara tentang wanita,” ungkap wanita yang akrab disapa Yani Motik.
 
Menurut Yani, kita patut berbangga, wanita masa kini punya posisi tawar yang baik, terutama dalam peran sebagai CFO keluarga yang memegang keputusan belanja. Namun, dari seluruh keuntungan proses supply chain yang ada, hanya 1% saja yang bisa dinikmati oleh wanita di dunia. “Bahkan, bicara soal APBN, hanya 5% saja yang bisa dinikmati wanita,” lanjutnya, mengutip beberapa studi dan penelitian.
 
Mewakili suara wanita yang bergerak di dunia UKM, Yani juga menyayangkan bahwa masih banyak wanita pengusaha UKM yang belum percaya diri untuk mendaftarkan bisnis dengan memakai namanya sendiri. “Kebanyakan masih datang membawa suaminya, dan mendaftarkan usaha atas nama suami,” ujarnya mengungkap temuan dari studi yang dilakukannya bersama HIPPI di kota-kota besar di Jawa, Sulawesi, Sumatera, Kalimantan, dan Bali.



Foto: NJL
 
Menurut Dewan Komisioner OJK Kusumaningtuti SS, minimnya literasi keuangan dan inklusi keuangan bagi wanita Indonesia menjadi beberapa faktor penyumbang yang ikut memengaruhi kenyataan miris di atas. “Sebagai ‘menteri keuangan’ keluarga, masih banyak wanita yang belum melek finansial.”
 
Survei OJK di 2013 mengungkap, literasi keuangan wanita masih di angka 21,3%, dengan tingkat inklusi 49,7%. Di tahun 2016, angka ini masing-masing meningkat menjadi 29,6% untuk tingkat literasi, dan 67,8% untuk tingkat inklusi. “Penelitian menyebut bahwa suatu negara yang literasi dan inklusinya tinggi, masyarakatnya sejahtera,” lanjut Kusumaningtuti.
 
Senada dengan Yani Motik dan Kusumaningtuti, Ekonom Prof. Mari Elka Pangestu, mengatakan bahwa bicara kesetaraan gender berarti bicara soal ekonomi. “Penelitian mengungkap bahwa semakin banyak wanita di jajaran direktur, maka semakin besar keuntungan sebuah perusahaan,” ungkap peneliti senior di CSIS itu.
 
Mari juga percaya, mentoring menjadi bagian penting dalam upaya pemberdayaan wanita. “Berkat mentoring, saya bisa menembus banyak hal dan berada di posisi saya saat ini,” lanjut Mari yang bercita-cita membangun jejaring wanita untuk kepentingan sharing dan mentoring.
 
Baca ulasan MENGGANDENG TEKNOLOGI di laman selanjutnya.
 
 


Topic

#SuaraAndaBerharga, #Kartini