
Foto: 123RF
Meskipun akhirnya menjadi keputusan kedua belah pihak, perceraian tetap hal yang pahit untuk dilewati. Luka yang ditimbulkan oleh retaknya ikatan suami istri itu terkadang tidak hanya berhenti pada masalah hati dan perasaan, tetapi juga menyangkut masalah keuangan. Dalam konteks ini adalah tunjangan anak dari si ayah untuk anak yang secara hukum diputuskan dalam pengasuhan ibu. Karena, meski hukum negara kita sebetulnya sudah mengatur soal ini, tapi kesadaran untuk melaksanakan kewajiban itu kadang dilupakan. Lalu, apa yang bisa dilakukan ketika tanggung jawab itu diabaikan?
Memang tak ada pasangan menikah yang ingin berakhir dengan perceraian. Tetapi, hidup ini bukan dongeng yang menjamin semua pemerannya akan happily ever after. Ketika harapan tidak sesuai kenyataan, pada akhirnya banyak pasangan yang memutuskan bercerai. Di Indonesia saja menurut Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung, pada 2010-2015 data angka perceraian di Indonesia meningkat, yaitu dari 59% menjadi 80%, dominan dari Aceh, Padang, Cilegon, Indramayu, Pekalongan, Banyuwangi, dan Ambon.
Pada akhirnya, retaknya sebuah rumah tangga itu tidak hanya membuat luka di hati masing-masing orang yang ada di dalamnya: ayah, ibu dan anak-anak. Satu hal yang terkait langsung dari gagalnya sebuah perkawinan adalah masalah keuangan. Kepergian ayah dari rumah misalnya, dengan sendirinya akan membuat rumah tersebut kehilangan pilar utamanya yang kokoh. Sayangnya, dalam satu proses perceraian yang sangat tidak mengenakkan ini, hal ini kerap diabaikan.
Dalam satu perceraian, selain soal hak pengasuhan anak, ada persoalan pembagian harta gono-gini (pembagian harta yang dimiliki bersama selama perkawinan), dan yang lebih rumit lagi dalam hal pelaksanaannya adalah soal tunjangan anak yang diberikan ayah kepada anak-anaknya. Terutama untuk kasus ketika hak pengasuhan anak jauh pada ibu. Karena, ketika ayah pergi dari rumah, maka otomatis tanggung jawab pengasuhan anak menjadi tugas ibu.
Rita (33), seorang wiraswasta adalah salah satunya. “Saat memutuskan untuk bercerai, bisa dibilang mungkin saya cukup egois, karena mengesampingkan kebutuhan anak dan hanya memikirkan diri sendiri,” ujarnya. Maklum, perselingkuhan mantan suaminya sudah membuat hatinya remuk redam dan membuatnya segera ingin terbebas dari mantan suami.
”Di awal perceraian, hubungan saya dan mantan suami masih baik-baik saja. Dia rutin memberikan nafkah kepada anak kami hingga akhirnya tiba-tiba mantan suami saya pekan-pelan menghilang dan tidak menjalankan tanggung jawabnya sebagai seorang ayah, yaitu mengirimkan tunjangan untuk anak kami melalui rekening saya,” katanya.
Rita pun tidak tinggal diam. Ia berjuang untuk mendapatkan kembali tunjangan untuk anak, bahkan sengaja melakukannya dengan sikap yang keras. ”Saya mengultimatum mantan suami kalau tidak memberikan tunjangan ke anak lagi maka saya akan membatasi pertemuannya dengan anak kami yang berusia 5 tahun,” ujarnya. Kepada ayah anaknya itu, Rita hanya mau menginformasikan anak mereka sehat atau tidak. ”Dengan cara itu, mantan suami jadi termotivasi untuk memenuhi tanggung jawabnya kembali,” katanya.
Chaira (35) seorang ibu dengan 2 anak perempuan juga harus menghadapi masa-masa sulit ketika suaminya diam-diam ternyata menikah lagi bahkan sudah memiliki anak dengan keluarga barunya tersebut. “Saya langsung minta cerai tetapi dengan syarat mantan suami harus memberikan nafkah kepada kedua anak kami,” ujar Chaira yang seoraang stay-at-home mom ini.Namun janji tinggal janji. Sudah dua tahun perpisahan itu, hingga kini tak sekalipun ayah anak-anaknya mengirimkan uang kepadanya. “Pada saat bercerai, kami memang bercerai dengan kondisi yang berantakan, sehingga saya bahkan tidak memikirkan meminta surat perjanjian tunjangan anak-anak, karena kondisi psikologi saya pada saat itu juga sedang tidak stabil,” katanya. Chaira kini terpaksa menghidupi kedua anaknya dari belas kasihan orang tuanya.
Psikolog Elizabeth Santosa yang juga komisioner di Komnas Anak Indonesia bidang Pengaduan dan Pemantauan mengakui bahwa proses perceraian seringkali memang penuh luka. Hal ini yang membuat banyak pasangan bercerai tidak membicarakan hal-hal penting dalam kehidupan setelah perceraian itu terjadi.
”Di Indonesia, ketika memutuskan menikah, jangankan membicarakan alimony –tunjangan anak dan istri- setelah perceraian atau membuat pre nuptial agreement, bahkan banyak calon suami istri yang tidak melakukan tes kesehatan. Hal ini didasari pemahaman bahwa cinta bisa mengalahkan segalanya,” ujar Elizabeth.
Hal-hal yang terkait emosi –jatuh cinta atau sakit hati yang menjadi alasan utama perceraian- ini yang membawa kesulitan di kemudian hari. Seperti yang diakui oleh Chaira dan Rita yang sangat emosional untuk segera menyudahi pernikahan mereka karena adanya pengkhianatan dari pihak suami. Meski sangat bisa dipahami bila perasaan terluka membuat ’gelap’ mata, tapi pada akhirnya hal itu sangat mempengaruhi kehidupan setelah menikah.
Persoalan emosi ini disebut Elizabeth memang sering juga menjadi alasan pria mengabaikan tanggung jawabnya. Namun, Elizabeth juga menegaskan bahwa kondisi pengabaian ini juga banyak disebabkan karena rendahnya awareness terhadap tanggung jawab yang mengikat seorang ayah (dan mantan) suami terhadap anak-anak dan mantan istrinya akibat dari kandasnya perkawinan.
”Kalau bicara soal hukum yang diberlakukan, jujur saja, sebenarnya saya tidak tahu aturan yang berlaku seperti apa. Sejak awal perceraian, perjanjian pemberian tunjangan anak yang dibuat antara saya dan mantan istri dilakukan secara lisan,” ujar Johan (42) seorang bankir. Bagi Johan, ayah mana yang tega membiarkan anak kandungnya sendiri hidup terlunta-lunta? Karena itu, ia berusaha keras bekerja dan menjalankan tanggung jawabnya, yaitu mengirimkan tunjangan untuk anaknya yang kini berusia 9 tahun. “Jumlah nominalnya tiap bulan bisa tidak sama, sesuai kebutuhannya,” imbuhnya. (f)
Topic
#SetelahPerceraian