
Foto: Fotosearch
Bagaimana langkah hukum yang harus diambil saat tahu karya kita dijiplak? Menurut Ari Juliano, Konsultan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang juga Deputi Fasilitasi HKI dan Regulasi, Badan Ekonomi Kreatif, karya plagiat bisa dituntut secara hukum ketika ada pengaduan resmi ke pihak kepolisian dari pemilik hak cipta yang sebenarnya. “Jadi, meskipun Anda protes panjang lebar melalui media sosial, tapi tidak melakukan pengaduan secara resmi, maka pihak kepolisian tidak bisa melakukan tindakan apa pun,’ kata Ari, mengingatkan.
Lantas, berapa persentase kemiripan sebuah karya sehingga karya itu bisa disebut karya plagiat? Di mata hukum, karya disebut plagiat jika memenuhi dua unsur. Pertama, adanya hal-hal substansial yang menjadi bukti autentik bahwa karya tersebut merupakan hasil plagiat.
Sebagai contoh, ketika Barack Obama mencalonkan diri sebagai presiden Amerika untuk pertama kalinya, muncul sebuah desain poster wajah dirinya yang paling terkenal. Desain wajah Obama dengan pose sedikit miring dengan tulisan ‘Hope’. Sebuah perusahaan suvenir kemudian membeli hak cipta atas desain tersebut dari Shephard Fairey, desainernya, dan digunakan untuk kaus, poster, spanduk, suvenir, dan segala kebutuhan kampanye Obama.
Masalah muncul setelah Mannie Garcia, seorang fotografer Associated Press, mengaku sebagai pemilik asli dari foto Obama yang digunakan dalam desain tersebut. Pihak kepolisian kemudian menyelidiki ruang kerja Fairey dan menemukan sebuah gambar rujukan dari karya desainnya, yang ia ambil dari internet. ”Dari kasus ini, pengaduan bisa diproses karena ada bukti autentik yang dijadikan bahan tudingan plagiat,” kata Ari.
Kedua, adanya acces to work, yaitu pencipta karya yang dituding menjiplak sudah terbukti mengetahui bahwa ada karya seperti miliknya yang sudah dipublikasikan terlebih dulu. “Misal, sebuah lagu memiliki intro yang mirip dengan lagu lama yang sudah lebih dulu dipublikasikan,” kata Ari. “Maka, jika pencipta lagu terbukti mencuplik intro lagu lain, maka ia bisa dituduh menjiplak.”
Kedua unsur tersebut, kata Ari, memang sangat subjektif. Karena itu, untuk membuktikan apakah sebuah karya menjiplak karya lain, tentu dibutuhkan kerja keras.
Mengenai hal ini, Salman melihat anehnya rasa kepemilikan terhadap suatu karya di Indonesia masih begitu rendah. Sebagai contoh, orang yang bekerja di industri kreatif, masih banyak yang kurang peduli dan mau mengambil langkah hukum jika karyanya diplagiat. Akibatnya, efek jera dari para pelaku penjiplakan masih rendah.
Terlepas dari hukum positif yang mengatur plagiarisme, jika mengaku sebagai orang kreatif (seharusnya) punya beban moral untuk mempertanggungjawabkan karya mereka. “Yang harus menjadi perhatian adalah bagaimana caranya seorang pekerja kreatif mengolah apa yang menginspirasi mereka menjadi sebuah karya yang sangat berbeda, hingga tidak dikenali lagi sebagai karya sebelumnya,” jelas Salman.
Masyarakat Indonesia, menurut Salman Aristo, sekarang sudah pintar dan kritis. “Publik bisa menilai apakah sebuah karya itu tiruan atau bukan, sehingga mereka yang hobi meniru-niru itu tidak akan lama ‘hidup’-nya.” (f)
Topic
#plagiarisme