Trending Topic
Banjir: Masalah Kita Bersama

27 Feb 2017


Foto: Peter F. Momor
 
Hujan yang terus mengguyur beberapa minggu terakhir menyebabkan banjir di beberapa wilayah di Indonesia, seperti Aceh, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Utara, dan Jakarta. Deputi Bidang Meteorologi, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Dr. Yunus S. Suwarinoto, MS, mengatakan bahwa dari pantauan kondisi atmosfer global dan regional, pengaruh gelombang tropis memicu munculnya area tekanan rendah serta monsoon Asia (perubahan iklim Asia dan Australia) yang masih cukup kuat.

“Secara tidak langsung, kondisi itu memengaruhi fenomena cuaca regional dan lokal, seperti munculnya daerah konvergensi (pengumpulan massa udara) kuat di Pesisir Barat Sumatra hingga wilayah Jawa bagian barat,” katanya. Diperkirakan, cuaca ekstrem ini akan sampai Maret 2017.
Khusus di Jakarta, berdasarkan data BMKG, banjir dipicu oleh tingginya curah hujan yang mencapai 180 mm. Namun, curah hujan tahun ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, seperti pada tahun 2007, 2013, dan 2014 yang berkisar 200 mm - 350 mm.

Pada Februari 2017 lalu, banjir dan genangan terdapat di 11 titik di Jakarta Selatan, 29 titik di Jakarta Timur, dan 14 titik di Jakarta Utara. Dengan kesigapan para petugas terkait, banjir dan genangan dapat surut dengan cepat, bahkan dalam hitungan jam. 

Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta mengungkapkan, banjir yang melanda Jakarta memang cukup besar, tetapi cepat surut. Hal ini dipengaruhi oleh normalisasi sungai, juga perbaikan dan pembersihan aliran sungai yang telah dilakukan, meski belum sepenuhnya selesai.

Sementara itu, Puput TD Putra, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jakarta, mengatakan bahwa banjir di Jakarta sudah menjadi rutinitas yang hampir tiap tahun terjadi. Bukan hanya pada masa pemerintahan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama saja, tetapi sudah ada sejak pemerintahan gubernur-gubernur sebelumnya, termasuk Fauzi Bowo. Bahkan, sejak zaman pemerintahan Belanda pada abad ke-19, 20, hingga di 50 tahun terakhir, yaitu pada tahun 1979, 1996, 1999, 2002, 2007, 2012, dan 2013.

“Beragam hal menjadi penyebab banjir Jakarta. Maka, untuk mengatasinya perlu kerja sama dengan lintas pemerintah daerah dan juga masyarakat,” katanya.

Puput menambahkan, normalisasi sungai dengan cara pembetonan bukanlah satu-satunya cara mengatasi banjir, tapi juga harus didukung dengan upaya dari hulu hingga hilir sungai. Debit air kiriman dari Bogor menjadi sangat besar karena beberapa wilayah yang dekat dengan aliran sungai telah berubah fungsi. Sebagian dijadikan tempat membangun vila dan   hotel, sehingga penyerapan air ikut berkurang. Tentunya hal ini harus dibatasi, kalau menyalahi aturan, ditertibkan. 

“Pemerintah harus melakukan audit lingkungan dengan menertibkan bangunan-bangunan elite yang menyalahi aturan, serta menyediakan ruang terbuka hijau hingga 30 persen dari luas wilayah. Saat ini, baru sekitar 10 persen saja,” kata Puput.

Selain itu, masyarakat juga perlu berperan aktif untuk mencegah terjadinya banjir. Patuh aturan dengan tidak membuang sampah sembarangan atau membatasi penggunaan plastik, serta membangun rumah dengan menyediakan biopori untuk menyerap air hujan. “Banjir merupakan masalah bersama, maka kita harus atasi secara bersama-sama pula,” tutup Puput. (f)

Baca juga:
10 Taman Hijau di Jakarta
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama Resmikan Ruang Bermain Anak Baru di Taman Kalijodo
Kisah dari Posko Banjir Pesantren Ekologi Ath-Thaariq: Nissa Wargadipura, Lawan Bencana Banjir Garut dengan Kearifan Lokal
5 Langkah yang Harus Dilakukan Saat Rumah Terserang Banjir
 


Topic

#Banjir, #BencanaAlam