Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia kemarin (18/7) mengundang rekan media, organisasi agama, dan praktisi kesehatan untuk turut serta menyusun materi advokasi dan sosialisasi tentang sunat perempuan bagi tokoh agama.

Forum diskusi yang berlangsung di Gedung Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI di Jakarta ini dipandu oleh Maria Ulfah Anshor selaku Komisioner KPAI.

"Indonesia termasuk salah satu negara yang masih menjalankan sunat pada perempuan, peringkat ketiga setelah Mesir dan Etiopia," papar Maria, mengutip laporan UNICEF tahun 2015.

Menurut Riset Kesehatan Dasar 2013, praktik sunat pada perempuan berusia 0-11 tahun di Indonesia bukan hanya terjadi di desa tetapi juga kota besar. Persentase tertinggi terjadi di Gorontalo (83,7%) dan terendah terjadi di Nusa Tenggara Timur (2,7%).

Hingga saat ini, isu agama dan budaya masih menjadi latar belakang bagi praktik sunat perempuan di Indonesia. Padahal, dari segi kesehatan, praktik pada perempuan tidak terbukti bermanfaat.

"Dampaknya justru berbahaya bagi seksualitas dan reproduksi perempuan. Mulai dari pendarahan, infeksi, trauma, penurunan gairah seksual, hingga kematian," jelas dr. Muhammad Fadli, Sp.OG, KSM Obstetri & Ginekologi RSUP Fatmawati.

Tokoh agama menjadi sosok penting dalam upaya ini karena masyarakat Indonesia pada umumnya masih menjadikan mereka sebagai panutan. "Untuk itu, sangat penting bagi kita  mengajak dan meyakinkan tokoh-tokoh agama untuk turut memberitahukan ke masyarakat bahwa sunat pada perempuan tidak perlu dilakukan," ujar dr. Emi Nurjasmi, M. Kes, Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Bidan Indonesia.

Emi menekankan, hal itu masih cukup sulit dilakukan karena para ulama masih memiliki pandangan yang beragam terhadap sunat perempuan. (f)

Baca juga:
Fakta Sunat Perempuan di Indonesia
Aturan Hukum Sunat Perempuan
Sunat Perempuan, Melindungi Atau Melukai?