Foto: Shutterstock
Kita sudah memasuki era post-truth, era di mana kebohongan dapat menyamar menjadi kebenaran, dan sebaliknya. Fakta tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal. Contoh gamblang adalah yang terjadi saat ini. Sejak virus COVID-19 muncul, tidak sedikit informasi yang saling bertentangan, yang beredar di masyarakat, mengakibatkan kebingungan. Kita tidak bisa naif, hoaks itu nyata adanya di sekitar kita. Masuk ke ruang-ruang keluarga dan merongrong kewarasan. Inilah salah satu bahasan dalam masterclass di hari ketiga Indonesian Women;s Forum (IWF) 2021 yang berlangsung pada akhir September lalu.
Mengambil tema Hoaks Mengancam Keluarga Indonesia, CCO Femina, Petty S. Fatimah memandu diskusi seru yang menghadirkan narasumber utama Dr. Rosarita Niken Widiastuti, Staf Khusus Menkominfo Bidang Informasi dan Komunikasi Publik, Transformasi Digital dan Hubungan Antar-Lembaga. Ada pula sharing dari Syifa Mutiara Putri, Community & Content Development Supervisor, tentang pengalaman pribadi berhadapan dengan hoaks seputar COVID-19.
Dari diskusi ini, ada 10 hal menarik seputar hoaks dari dunia maya yang cukup mengejutkan. Ketahui juga tentang apa saja yang perlu kita pahami agar kita lebih melek literasi digital dan mampu memfilter hoaks.
1. Apa itu hoaks
Menurut kamus, hoaks berarti informasi palsu. “Hoaks adalah informasi sesat, tapi dibuat seolah-olah rangkaian fakta. Ada unsur kesengajaan dan ada tujuan penyesatan. Biasanya hoaks ditulis dengan diksi buruk, untuk menyebarkan kengerian massal. Hoaks ada dalam lingkaran kita,” ujar Petty, mengawali diskusi.
Terdapat 9 jenis hoaks. Di antaranya: parodi atau satir, konten menyesatkan, konten buatan, konten termanipulasi, konten tidak sesuai konteks, konten tiruan, konten tidak sesuai konteks, propaganda, dan teori konspirasi.
2. Kesehatan, tingkat hoaks tertinggi
Temuan dari Kominfo, isu hoaks tertinggi dari bidang kesehatan, kemudian disusul politik, dan pemerintahan. Temuan hoaks terkait covid-19 ada sejumlah 1754 jenis. Menurut Dr. Rosarita, hoaks dalam dunia kesehatan ini menjadi sorotan utama pemerintah saat ini. Dalam hal ini penanganan covid-19. “Kalo covid-19 tidak selesai-selesai, maka pertumbuhan ekonomi juga akan terganggu, dampaknya ke semua sektor,” tuturnya.
Syifa adalah salah seorang yang pernah mengalami sendiri ‘termakan’ hoaks seputar covid-19 ini. Beberapa bulan lalu, saat ia dan keluarga dinyatakan positif covid-19, mereka menerima informasi bertubi-tubi baik dari keluarga maupun teman berupa broadcast pesan berisi daftar obat yang dibilang dapat menyembuhkan. “Dalam keadaan kalut, saya langsung membelinya. Apalagi ada embel-embel logo dari Kemenkes, pesan itu terlihat sangat meyakinkan. Saya merasa yakin obat-obat itu bisa membuat saya pulih. Belakangan baru tahu kalau itu hoaks. Saya merasa tertipu,” kenang Syifa, yang mengaku dirinya tak pernah terbersit sedikit pun sebelumnya bisa mudah memercayai hoaks.
Temuan hoaks lainnya terkait covid-19 seputar vaksin berjumlah 333 jenis. Persebaran terbanyak dari Facebook. “Misalnya, kabar bahwa dalam waktu 2 tahun yang akan datang mereka yang divaksin akan meninggal dunia. Itu hanyalah hoaks, tapi sudah terlanjur membuat masyarakat takut. Inilah yang sekarang ini sedang terus kami lakukan. Setiap hari ada saja hoaks baru.”
3. Media sosial sumber utama
Saluran penyebaran hoaks melalui media sosial adalah sebesar 92,4%, disusul aplikasi chatting 62,8%. “Dari satu hoaks, bisa teramplifikasi ke lebih dari puluhan ribu atau jutaan pengguna media sosial. Bayangkan kalau jumlahnya ada ribuan jenis hoaks,” sentil Dr. Rosarita.
Menurut Kominfo, terdapat 1754 jenis hoaks seputar covid-19. Pengajuan take down akun media sosial sebaran hoaks mencapai 3806. Sekitar 3345 di antaranya sudah ditindaklanjuti. Namun demikian, kata Dr. Rosarita, meski akun sudah ditutup, tidak menutup kemungkinan kontennya sudah terlanjur tersebar ke grup chat. “Ibarat kapas segenggam, sudah kena angin. Susah mengumpulkan kembali serpihan-serpihan kapas tersebut.”
4. Efek amplifikasi
Hoaks bisa menjadi berbahaya karena efek amplifikasinya. Saat suatu informasi sesat diamplifikasi sedemikian gencar, maka orang akan mengira itu sebuah kebenaran.
5. Pola 10 to 90
Adanya pola komunikasi dalam masyarakat 10-90. Artinya, sebanyak 10% masyarakat yang aktif dalam memproduksi konten, baik itu positif maupun negatif. Sedangkan 90% lainnya adalah audiens yang hanya membaca judul tanpa diteliti tetapi dengan sukarela menyebarkan ke Whatsapp, Facebook, Twitter, dan sebagainya.
6. Efek ruang gema
Masyarakat kadang hanya mau mendengar yang sudah sepemikiran dengan kita sehingga memperteguh sikap mereka. Pikiran yang berulang ini memperkuat pandangan yang makin mengental dan ekstrem. Hoaks dianggap sebagai kebenaran karena dianggap sesuai dengan suara yang bergema.
7. Hoaks bisa menghancurkan negara
Bahaya hoaks adalah dampak munculnya polarisasi atau terbelahnya opini masyarakat. Satu berita hoaks bisa memunculkan kegaduhan, merusak mental bangsa, dan menciptakan ketegangan, konflik kekerasan, hingga kekacauan dan peperangan.
8. Literasi digital
Perlunya literasi digital pada masyarakat untuk bisa membedakan mana hoaks dan mana bukan. Lantas, bagaimana mengenali ciri-ciri hoaks? Pertama, sumber tidak jelas. Perlu dicari lebih lanjut apakah informasi tersebut bersumber dari media yang telah terverifikasi oleh Dewan Pers. Kedua, info yang disebar itu memuat keanehan. Ketiga, cenderung menggunakan bahasa yang provokatif. Keempat, tidak memiliki kesesuaian. Misal, ada suatu kejadian tahun berapa di mana, tapi di-caption itu untuk menggambarkan penderita covid-19. Kelima, cenderung mendiskreditkan pihak-pihak tertentu. Keenam, mengajak membenci seseorang atau lembaga dengan berita tidak seimbang. Dan, ketujuh, ada ancaman tertentu jika pembaca tidak menyebarkan info.
9. Saring sebelum sharing
Ada lima pertanyaan yang perlu diajukan sebelum kita membagi sebuah informasi. Antara lain: apakah suatu informasi itu benar? Apakah kontennya membantu? Apakah ilegal? Apakah itu perlu? Apakah kontennya itu sendiri baik?
10. Hati-hati Jejak Digital
Menyebar hoaks bisa merugikan diri sendiri. Jejak digital akan bertahan seterusnya. Meski kita sudah menghapus suatu konten di handphone, tapi data digital bisa muncul kapan saja dan dari mana saja. “Untuk itu, sebagai orang tua, ada baiknya mengedukasi anak-anak. Mereka akan meninggalkan rekam jejak digital pada setiap konten yang mereka share di media sosial. Kalau isinya mengamplifikasi teroris, radikalisme, ujaran kebencian, dan hoaks, bisa berpengaruh negatif pada karier ke depannya.”
11. Etika di dunia cyber
Dalam dunia digital berlaku aturan seperti halnya di dunia nyata. Aturan pertama, kita harus bertanggung jawab pada setiap hal yang kita perbuat. Begitupun, di digital, kita harus bertanggung jawab dengan konten yang kita unggah. Tidak hanya yang kita buat, tapi juga apa-apa yang kita broadcast dari sumber lain. Aturan kedua, kita harus berpikir dan berempati akan akibat konten yang diunggah terhadap perasaan orang lain. Aturan ketiga, kita harus tetap otentik dan siap berjaga terhadap semua konten yang diunggah. Aturan keempat, kita harus kritis mengevaluasi informasi yang diperoleh sebelum mengambil tindakan selanjutnya. Aturan kelima, integritas, kita harus melakukan hal yang benar. Berani menyuarakan kebenaran dan melawan perilaku negatif di dunia online.
#Indonesiaterkoneksi, keluarga moderen harus #makincakapdigital, biasakan budaya #saringsebelumsharing dalah keluarga kita. (f)
Baca Juga:
Masa Depan Cerah Dunia Freelancer
3 Pakar Bicara Tantangan Keluarga Modern
Kelola Emosi dengan Meditasi untuk Kesehatan Mental di Era Hybrid Working
Topic
#IWF2021, #masterclass, #keluarga, #hoaks, #literasidigital