Travel
Relaksasi Ala Mekong di My Tho

29 Mar 2016


Hanya dengan berkendara sejauh 73 kilometer dari Ho Chi Minh City, saya, Randy Mulyanto, menuju bagian wilayah Vietnam yang suasananya sama sekali berbeda dari ibu kota. Keramaian kota besar yang sedemikian padatnya tiba-tiba saja berubah menjadi ketenangan desa tradisional di My Tho, kota di Provinsi Tien Giang di Vietnam Barat. Di My Tho pula saya menjumpai macam-macam camilan lokal, melihat gambaran kehidupan Sungai Mekong, serta mengagumi pagoda Buddha yang mencirikan spiritualisme di Vietnam.

 
Pembuatan Permen Kelapa
Tiba di My Tho, semilir angin dan panas matahari menyengat menyambut saya di dermaga sebagai titik awal menjajaki Thoi Son Island, yang berarti Pulau Unicorn. Menurut Le Thi Ngo atau dipanggil Noni, pemandu asli Vietnam Selatan, pulau-pulau di bantaran Sungai Mekong di My Tho dinamakan berdasarkan empat binatang suci Vietnam, yaitu naga, kura-kura, phoenix, serta unicorn. Dari dermaga, saya bersama rombongan menaiki kapal selama 15 menit untuk sampai di Thoi Son Island.
         
Sampai di sana, kami langsung diajak mencicipi teh madu. Saya teringat dengan apa yang dikatakan Noni sebelum kami sampai. “Orang Vietkong dulu minum teh madu. Karena itu mereka pintar-pintar,” jelas Noni. Vietkong yang dimaksud Noni adalah pasukan tentara Vietnam Utara yang memenangkan perang dengan Vietnam Selatan sewaktu Perang Vietnam, tahun 1955-1975.
         
Saya menuangkan teh dari teko ke dalam cangkir kecil,  lalu menambahkan madu yang didapat dari sarang lebah yang diekstrak sebelum meminumnya. Rasanya pas! Madu dan jeruk nipis yang bercampur jadi satu menjadi perpaduan yang segar. Apalagi ditambah dengan sepiring kecil keripik pisang dan kacang, menjadi  selingan menyenangkan untuk memulai siang di My Tho.
         
Setelah itu kami berjalan beberapa saat, untuk sampai di tempat pembuatan permen kelapa. Di tempat ini saya menemukan batok-batok kelapa teronggok di pinggir, juga menemukan mesin penggiling kelapa.    Noni menjelaskan tentang proses pembuatan permen kelapa yang ternyata cukup sederhana.
         
Pertama, kelapa-kelapa dikupas sabutnya, kemudian dimasukkan ke mesin penggiling. Uniknya, yang masuk dalam mesin penggiling itu adalah kelapa utuh, termasuk batoknya. Setelah kelapa-kelapa tergiling, ampas dan santan kelapa baru dipisah. Santannya dimasak 40-45 menit, kemudian dibuatlah adonan permen kelapa.
         
Selanjutnya, saya berjalan menuju pos pengemasan permen kelapa. Seorang warga lokal terlihat cekatan mengemas bungkus-bungkus permen kecil. Gerakan tangannya menandakan bahwa ia telah terbiasa mengepak permen-permen yang terserak di meja. Saya pun melihat tumpukan permen cokelat tersebut dalam satu wadah, lalu menyadari bahwa wadah tersebut adalah sampel permen kelapa ini. Saya mengambil satu permen dan mengunyahnya. Teksturnya lengket, cenderung kenyal. Rasa manis kelapa polos ini langsung melumer di lidah.
         
Permen kelapa ini memiliki empat rasa, yakni kelapa polos, kacang tanah, pandan, dan cokelat. Tiap pak permen kelapa berisi dua puluh butir permen, dan per paknya dihargai 30.000 dong (sekitar Rp18.000).

Sebelum beranjak meninggalkan tempat pembuatan permen ini, saya bertanya kepada Noni apakah permen ini dijual di seluruh Vietnam. “Hanya di Vietnam Barat saja,” jawab Noni. Usai melihat-lihat, saya bersama rombongan pun beranjak dari pos pembuatan permen, lalu berjalan melewati perkampungan dan melalui kios-kios suvenir. Saya bersiap melihat sisi tradisional Vietnam Barat berikutnya.
 

Mendayung Sampan

Saya melanjutkan perjalanan untuk mencicipi buah-buahan setempat. My Tho yang berada di Mekong Delta, bagian dari Sungai Mekong, memang merupakan penghasil sebagian besar buah-buahan di Vietnam.

Setelah buah-buahan tersebut panen, semua dibawa dengan perahu kecil ke sekian banyak pasar terapung, di mana setelahnya dijual ke para pedagang grosiran. Ketika berada di tempat penghasil buah-buahan segar, tentunya kami tak melewatkan untuk mencicipinya.

Saya diajak Noni untuk duduk di sebuah kedai. Tak berapa lama, seorang wanita datang menyajikan beberapa piring buah-buahan untuk kami nikmati. Suasana tradisional lagi-lagi terasa dari kehadiran wanita tersebut.

Ia mengenakan ao dai, pakaian tradisional wanita Vietnam berupa gaun panjang berpotongan khas yang dipadu  dengan celana panjang. Ao dai konon menjadi simbol kecantikan dan kebanggaan masyarakat Vietnam. Selama   di Vietnam, tidak jarang saya melihat para wanita mengenakan ao dai sebagai pakaian sehari-hari.

Piring-piring berisi mangga, nangka, nanas, sawo, dan kedondong tersaji di meja. Saya pun mencicipi mangga dan nanasnya. Segar dan manis! Selagi mencicipi segarnya buah-buahan tropis asli Mekong, kami juga mendengar lagu daerah setempat, suguhan empat wanita lokal yang mengenakan ao dai dan para pengiring lagu.

Setelah rehat sejenak, kami beralih menuju highlight kunjungan ini: berlayar menyusuri Mekong Delta! Dari tempat kami menikmati buah-buahan, kami berjalan melewati halaman luas dengan ilalang di kanan dan kiri menuju sampan-sampan yang tampak menumpuk di pinggir sungai.

Menduduki sampan bermuatkan empat orang, saya menjumpai seorang wanita setempat siap mendayung sampan menyusuri Mekong Delta. Seorang pria lokal yang juga mendayung duduk di belakang saya. Memang, sebelum tiba di Thoi Son Island, Noni telah mengabari bahwa kami akan mendayung dua kilometer selama lima belas menit ke depan.
 
Mekong Delta atau berarti Nine Dragon River Delta dari bahasa Vietnam, merupakan ujung dari Sungai Mekong. Sungai Mekong yang sepanjang 4.909 km ini bermula dari Tiongkok, Myanmar, Thailand, Laos, Kamboja, dan terakhir Vietnam.

Konon, Mekong Delta dianggap daerah yang subur, sehingga memungkinkan Mekong Delta sebagai salah satu tempat penghasil padi terbesar Vietnam. Selain itu, sayur-mayur dan hasil perikanan melimpah di Mekong Delta. Gaya hidup di bantaran sungai yang tidak tergesa-gesa juga memberi insight akan kehidupan masyarakat setempat.

Kami berempat bersama dua orang pendayung sampan pun mengikuti aliran sungai. Mendengar nama Mekong sejak bangku SD dan dibuat penasaran sejak saat itu, seakan menjadi kenyataan bagi saya untuk bisa menjejakkan kaki di sini. Sampan bercat biru kami berlayar di kanal Mekong Delta yang sempit.
Wanita yang duduk di paling depan dan pria yang duduk di paling belakang sampan mendayung perlahan, mengundang suara air yang terdengar jelas dalam sunyi. Saya hanya terdiam mengamati sekeliling, sesekali menghadap ke belakang. Tampak sampan-sampan lain mengikuti kami di belakang.

Selagi melewati aliran sungai, secara tidak sengaja sampan kami menabrak sampan yang datang dari arah berlawanan. Karena kanal sungai yang tak begitu lebar, pendayung sampan kami pelan-pelan mendayung agar kedua sampan tidak lagi bertubrukan. Saya juga melihat sampan lain di sebelah kiri, mendayung kembali ke titik awal saya menaiki sampan, hendak mengangkut turis kembali ke kapal besar menuju dermaga.

Saya melewati kesekian sampan di Mekong Delta dan mendengar kata ‘tip’ dari para pendayung, tanda untuk memberikan tip kepada pendayung yang telah mengantarkan kami melintasi Mekong Delta. 

Usai melintasi kanal Mekong Delta, kami dihadapkan dengan Sungai Mekong yang luas. Sungai berwarna kecokelatan yang menyokong kehidupan banyak sekali orang di sekitarnya. Kami berhenti dekat kapal yang sempat kami naiki menuju Thoi Son Island, lalu meninggalkan sampan untuk beralih ke dermaga.
 

Kuil Masa Lalu
Kami lalu menaiki bus, sekitar lima menit dari dermaga menuju Vinh Trang Pagoda, pagoda terbesar di kawasan My Tho. Vinh Trang Pagoda berdiri sejak tahun 1856 dengan patung-patung Buddha yang dibangun tahun 1990-an.

Menurut Noni, arsitektur Vinh Trang Pagoda merupakan perpaduan antara gaya Jepang, Prancis, dan Vietnam. Melihat beragam gaya bangunan pun bisa dimengerti, mengingat Vietnam pernah dijajah Prancis dalam kurun seabad dan Jepang selama dua tahun.

Pagoda ini mengikuti ciri chu quoc, gaya pagoda dan kuil yang populer di masa lalu. Atap pagoda juga terilhami lima unsur kehidupan seperti api, air, logam, kayu, serta tanah, layaknya tradisi Tiongkok. Terdapat sekitar 60 patung Buddha dari kayu, tembikar, dan perunggu di Vinh Trang Pagoda. Pagoda ini kini menjadi relik kultural dan sejarah milik negara yang telah diakui pemerintah.
 
Saya awalnya mengira bahwa ini hanyalah pagoda biasa. Namun, asumsi saya terpatahkan ketika melihat patung-patung Buddha tinggi dan ornamen bangunan yang penuh detail memukau. Setelah berjumpa dengan patung Buddha Maitreya, saya berjalan ke belakang untuk melihat patung Buddha tidur. Patung Buddha memanjang ini adalah simbol kehidupan spiritual bangsa Vietnam.

Saya menghabiskan waktu untuk menikmati taman yang terawat apik dan asri, kemudian menyeberang untuk melihat patung Buddha lainnya. Saya mengamati anak-anak mengayuh sepeda roda tiga mereka, dan di sana saya merasakan atmosfer setempat. Yang menarik, saya tak hanya menemukan keindahan arsitektur di Vinh Trang Pagoda, namun juga kehidupan lokal yang menghadirkan warna-warna yang lebih semarak dari Vietnam.
 

TIP

  1. Umumnya, membutuhkan 2 jam 40 menit untuk penerbangan dari Jakarta sampai Ho Chi Minh City.
  2. Banyak operator tur di Ho Chi Minh City dengan destinasi My Tho yang menawarkan kunjungan selama satu hari. Pilihlah tur yang sesuai dengan minat dan bujet. Anda juga bisa mengunjungi My Tho tanpa tur.
  3. Kunjungi Thoi Son Island di sore hari karena tidak terlalu ramai dan panas dibandingkan saat pagi. Tidak perlu takut kehabisan waktu karena pergi saat sore, sebab My Tho tidak begitu menghabiskan banyak waktu untuk dieksplor.
  4. Belilah coconut candy untuk suguhan manisan unik, berhubung sulit untuk menemukan coconut candy di Ho Chi Minh City dan kota-kota selain My Tho.
  5. My Tho merupakan titik awal untuk menjelajahi Mekong Delta. Jika Anda memiliki waktu luang, sempatkan diri mengunjungi Vinh Long maupun Can Tho, yang masih menjadi bagian dari Mekong Delta. (f)
 
RANDY MULYANTO (KONTRIBUTOR – TANGERANG)